Gadis kecil berbalut seragam putih biru itu tak mampu menahan air matanya. Tubuhnya tampak bergetar dengan kedua tangan saling bertaut. Wajahnya semakin menunduk dalam, tak berani menatap orang-orang yang berdiri menampakkan beragam ekspresi. Pandangan remeh, iba, bahkan mencemooh lengkap diberikan padanya, padahal ia tak melakukan hal yang merugikan banyak orang. Hanya satu kesalahannya, jatuh cinta pada sosok yang kini berdiri angkuh di depannya sembari melayangkan tatapan jijik.
Ia berjingkat saat sebuah cermin kecil terlempar ke arahnya sebelum menghantam tanah lalu pecah. Tawa kembali menggema, tapi ia tak mampu untuk sekedar melawan. Hanya air mata yang senantiasa mengalir membasahi pipinya.
"Lo harusnya ngaca dulu sebelum naksir Tirta!" teriak gadis di sebelah lelaki bernama lengkap Ardana Tirtayasa yang kini bersedekap dada. "Atau lo bisa datengin rumah sakit tempat Mama gue kerja buat operasi plastik."
Gadis itu membuka bibirnya yang terasa kelu hendak membalas, tapi segera dipotong.
"Oh satu lagi, sedot lemak sekalian deh. Kasian tau kalau kalian nge-date jadinya kayak angka sepuluh."
Body shaming. Orang-orang yang merasa bentuk tubuhnya sempurna begitu ringan mengatakan hal sensitif seperti itu. Mereka tak memikirkan kalau apa yang dianggap candaan tersebut dapat berakibat fatal. Menjatuhkan rasa percaya diri seseorang hingga level terbawah. Fatalnya dapat membuat psikis mereka terganggu.
"Udah cukup, Res," ucap si lelaki yang sejak tadi tak bersuara. Gadis itu pikir ia akan mendapat pembelaan, terlebih melihat pujaan hatinya berjalan mendekat dan berdiri tepat di hadapannya. Bukan senyuman hangat yang ia terima melainkan seringaian menakutkan disertai kilatan amarah yang diberikan.
"Berhenti," ucapnya dengan nada dingin. Bukan hanya dirinya yang dibuat membeku, melainkan juga orang-orang yang berperan sebagai penonton. "Jangan mempermalukan diri lo dengan cara seperti ini."
Ia menggelengkan kepala cepat. Meskipun begitu memuja lelaki itu, ia tak pernah bermaksud mengungkapkan perasaannya. Tentang buku diary-nya yang kini tergeletak tak berdaya di dekat kakinya, ia tidak tahu kapan dan bagaimana mereka bisa menemukannya hingga membuatnya terjebak di tengah lapangan dan menjadi bahan olokan.
Lelaki itu menyentuh dagunya agar mendongak. Tatapan tajam dan meremehkan menyorot tepat ke matanya. "Lo tau film Beauty and the Beast?"
Dengan nyali menciut ia mengangguk kaku.
"Mungkin di film itu si buruk rupa bisa berubah jadi cowok tampan, tapi lo ...," ucapan lelaki itu terhenti kemudian mendekatkan wajah dan berbisik di telinganya hingga ia menahan nafas. "Di mata gue, lo gak akan pernah berubah. You're the beast!"
Gadis itu melebarkan mata dan terhuyung mundur. Tubuh orang-orang di sekitarnya perlahan membesar, berubah seperti raksasa. Mereka tertawa keras meneriakan hal yang sama dan saling bersahutan.
"You're the beast!"
"YOU'RE THE BEAST!"
"BEAST!"
"HAHAH ... CEWEK BURUK RUPA!"
"BURUK RUPA!"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M (NOT) THE QUEEN ✔️
Teen Fiction(Pemenang dalam event #WWC2020) Aqueena Savara bukanlah seorang ratu selayaknya nama yang ia miliki. Kata sempurna begitu jauh dari jangkauannya. Baik di sekolah, maupun di rumah, ia tak pernah mampu menjadi yang nomor satu. Savara tidak pernah men...