Mungkin apa yang selama ini kamu anggap buruk adalah hal baik yang tak pernah kamu sadari.
***Savara memasuki area sekolah yang sudah lumayan ramai. Ia melangkah dengan ringan melewati koridor. Hampir saja cewek itu menghentikan lajunya mendapati Adrian muncul di tikungan.
Shit! umpatnya dalam hati. Setelah kejadian kemarin, ia sudah memutuskan untuk menjaga jarak sejauh mungkin. Baginya Adrian itu cowok berbahaya. Mereka jarang bertemu, tapi sekalinya bertatap muka, Savara selalu merasa alarm peringatan berbunyi dalam kepalanya. Bahkan Damian yang sangat menyebalkan saja kalah.
Tak bisa mundur, Savara memutuskan terus berjalan dengan berpura-pura tak menyadari keberadaan Adrian. Ia seolah fokus memandangi sekitar sembari mendengarkan musik dari earphone yang menyantol di telinganya, padahal Savara baru saja mematikannya saat turun dari gojek tadi.
Dikit lagi, gumamnya membatin. Savara hendak menghembuskan nafas lega saat seseorang menahan lengannya. Aroma parfumnya tak asing. Sama seperti saat dirinya dan cowok itu duduk bersebelahan di angkutan umum dulu.
"Ada apa?" tanya Savara tanpa berbalik menatap cowok di belakangnya. Sebenarnya ia ingin berontak, tapi merasakan pegangan erat pada lengannya, ia memilih pasrah dan membiarkan Adrian mengatakan sesuatu.
"Elo sering lukain diri lo?" pertanyaan tersebut membuat tubuhnya menegang. Savara tak menyangka Adrian akan terang-terangan menanyakan hal sensitif seperti itu. Segera ia melirik sekitar, memastikan tak ada yang mendengar ucapannya.
"Gak ada yang denger, gue ngomong pelan," ucap Adrian menyadari tingkahnya.
Savara tak merespon, ia benar-benar merasa blank sekarang.
"Sejak kapan lo lakuin itu?" tanya Adrian lagi karena dirinya malah bungkam. Lagipula kenapa cowok itu tiba-tiba bersikap sok tau? Apa ... benar karena membaca diary-nya?
Tapi ... tidak mungkin. Savara menolak apa yang melintas di kepalanya lalu berbalik hingga mereka berhadapan. "Kalau gue bilang semua terjadi semenjak lo dan temen-temen lo gangguin gue, lo bakal percaya?"
Adrian menggeleng. "Kita gak sekejam itu sampai buat lo harus bertindak berlebihan."
Savara tak membalas, malah menatapnya dengan tatapan sinis. Cowok itu tak paham bahwa setiap maunusia memiliki sensitifitas perasaan yang berbeda.
"Buat apa lo nanyain ini?" tanya Savara kemudian.
Adrian menatapnya lamat. "Karena gue penasaran."
"Jangan begitu. Kebanyakan Orang yang awalnya penasaran, lama-lama malah jatuh hati. Gue gak mau repot," ucapan Savara membuat cowok itu tertawa. Adrian rasa cewek di depannya terlalu percaya diri meski sebenarnya- ia tidak tahu kenapa semenjak melihat beberapa garis melintang di pergelangan tangan Savara, hatinya langsung tergugah. Savara tidak terlihat seperti cewek rapuh yang memiliki banyak beban di pundak.
"Anggap aja lo gak pernah tau apa pun," ucap Savara, serius. Hal tersebut membuat cowok itu terdiam. Tak ingin berlama-lama, Savara melangkah menuju kelasnya.
Tiba-tiba saja ia teringat pada sosok Damian yang menjadi baik padanya, mungkin saja cowok itu juga tau sesuatu atau Adrian bercerita, tapi ... kenapa Damian tidak pernah menyinggung apa pun? Sikapnya terlihat natural. Memaksa dan menyebalkan.
***Yang Savara temukan pagi ini adalah satu kotak susu rasa pisang. Pesan yang ditinggalkan sosok misterius itu begitu singkat. Hanya kata selamat pagi tanpa emoticon apa pun.
Segera ia menyeruput minuman tersebut, kebetulan Savara merasa haus setelah berbicara dengan Adrian. Namun, sepertinya nasibnya sedang buruk. Saat menoleh ke luar jendela, ia malah mendapati Ardana dan Danish berjalan beriringan.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M (NOT) THE QUEEN ✔️
Teen Fiction(Pemenang dalam event #WWC2020) Aqueena Savara bukanlah seorang ratu selayaknya nama yang ia miliki. Kata sempurna begitu jauh dari jangkauannya. Baik di sekolah, maupun di rumah, ia tak pernah mampu menjadi yang nomor satu. Savara tidak pernah men...