Waktu tidak menjamin keberhasilan seseorang untuk menyembuhkan luka
***Pagi ini Savara berangkat sekolah seperti biasa. Surat panggilan orang tua yang diberikan seolah bukan hal berarti. Ia bahkan tidak ingat di mana menyimpan surat itu. Sekali lagi, Savara akan membuat masalah yang mungkin membuat mereka terkejut.
Menyimpan tasnya, cewek itu melangkah ke luar kelas untuk memenuhi panggilan Pak Bram. Savara melihat ponselnya, mendapati beberapa chat masuk dari orang-orang terdekatnya.
Dami Jelek: Mama lo dateng?
Savara: Enggak
Dami Jelek: Gimana kalau Pak Bram marah?
Savara: Gk bakal, tenang aja
Dami Jelek: Kasih tau kalau udh selesai
Savara: Ya
Keluar dari room chat-nya. Savara mendapati pesan lain yang membuatnya tertegun.
Adrian: Di mana?
Pertanyaan yang begitu singkat, tapi sepertinya cukup menyulitkan cewek itu untuk memberikan jawaban. Akhirnya Savara memilih mengabaikan chat tersebut dan memasukkan ponselnya ke saku. Namun, siapa sangka kalau sosok yang dihindarinya sedang berdiri di dekat pintu ruang bimbingan konseling, menunggunya.
Savara merutuk dalam hati. Haruskah ia berpura-pura tidak melihat pesan yang dikirimkan cowok itu?
Adrian yang sedang menyandarkan punggung segera menegakkan badan lalu menghampirinya. Ia kira Adrian akan menanyakan alasan dirinya tak membalas pesannya, ternyata dugaannya salah.
"Siapa yang dateng?" tanya cowok itu melirik ke belakangnya. Mungkin mengira akan menemukan walinya. Savara menjawab dengan gelengan.
Adrian sempat terdiam sebelum kemudian tersenyum dan memberikan usapan lembut di bahunya. "Gak papa. Lo tinggal jelasin aja kenapa mereka berhalangan hadir. Pak Bram pasti ngerti."
Savara tidak tahu cowok seperti apa di depannya. Ia tidak bisa menebak apa yang ada di pikiran Adrian saat ini dan kenapa cowok itu tak menanyakan alasan walinya tak bisa datang.
Derap langkah membuat keduanya menoleh, jantung Savara bertalu kencang melihat sosok di sebelah Nagita. Refleks dirinya meraih tangan Adrian, mencari pegangan.
Lelaki itu berjalan semakin dekat, belum menyadari keberadaannya karena tengah berbicara dengan putri tercintanya. Adrian yang awalnya merasa aneh menatap mereka bergantian. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi merasakan genggaman cewek di sebelahnya yang semakin erat membuatnya menyadari satu hal, bahwa Savara sedang tidak baik-baik saja.
Tepat saat lelaki paruh baya itu mengarahkan tatapan ke depan, mereka sama-sana membeku. Savara berusaha menahan dirinya ketika lelaki itu menatapnya dengan kernyitan dalam. Mungkin merasa tidak asing. Satu fakta yang membuat hatinya berdenyut sakit. Sang papa tidak mengenalinya sama sekali. Memang apa yang ia harapkan dari lelaki yang telah meninggalkannya saat masih duduk di bangku sekolah dasar.
Nagita yang berdiri di sebelah sang papa menyeringai. Melihat raut pucatnya pasti cewek itu mengira dirinya ketakutan karena apa yang dikatakannya hanyalah bualan. Mata Savara memanas. Ia berusaha tak berkedip ketika merasakan sesuatu hampir jatuh dari pelupuk matanya.
Derit pintu terdengar, disusul suara Pak Bram yang mempersilahkan masuk. Sepasang ayah dan anak itu melewatinya, masuk ke ruangan terlebih dahulu, berbeda dengan Savara yang berusaha keras untuk tak menangis. Ia benci sang papa karena telah meninggalkannya, tapi tak dikenali seperti tadi membuat rasa sakitnya berlipat ganda.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M (NOT) THE QUEEN ✔️
Teen Fiction(Pemenang dalam event #WWC2020) Aqueena Savara bukanlah seorang ratu selayaknya nama yang ia miliki. Kata sempurna begitu jauh dari jangkauannya. Baik di sekolah, maupun di rumah, ia tak pernah mampu menjadi yang nomor satu. Savara tidak pernah men...