Apakah dunia memang sekejam itu?
***Keadaan Senin pagi begitu cerah. Para siswa berjalan ke lapangan untuk mengikuti kegiatan rutin upacara. Ada yang dengan sadar diri dan segera berbaris, ada pula yang malah bergosip sehingga para anggota OSIS harus berkali-kali menyuruh mereka untuk merapikan diri.
Savara jelas termasuk ke dalam opsi pertama. Ia segera berdiri di barisan kelasnya. Baginya lebih cepat rapi, maka upacara akan segera dimulai dan tentu selesai dengan cepat. Sayangnya hanya sebagian orang yang sadar diri.
Di depannya ada Alicia yang sedang berbicara dengan teman sekelasnya. Kebetulan Savara yang memiliki postur tubuh lebih tinggi berdiri di belakang. Larasati? Cewek itu termasuk salah satu anggota Paduan Suara.
"Anjir! Enak banget yak di sini, teduh."
Suara tak asing tersebut membuat Savara mengalihkan pandangan. Didapatinya Danish dan Damian sedang berdiri di barisan kelasnya, tepatnya mereka sengaja bergabung karena tempat di belakangnya ada pohon rindang.
Cowok di sebelah Danish mengangguk ringan sambil mengemut permen. Namun yang membuat Savara menggelengkan kepala adalah poni rata cowok itu dan topinya yang banyak coretan pulpen. Seperti anak SD.
"Eh Dam, anak padus Dam, rambut sebahu bermata sipit."
Savara yang mendengarnya seketika berdecak. Danish memang tak pernah jauh dari yang namanya cewek cantik.
"Ya mana sih?" Damian yang terhalangi tubuh tinggi siswa di depannya berjinjit.
"Itu yang di sebelah mantan gebetan lo si Oci."
"Oh iya iya. Gue tau tuh, adik kelas pas SMP," jawab Damian menganggukkan kepala.
Senyum Danish berubah cerah. "Siapa dah namanya? Lela bukan sih? Gue rada lupa."
"Hadeuh! Namanya Lala, Bambang!" Damian menggeplak lengan sahabatnya hingga Danish meringis.
"Ya sorry gue, kan gak tau, makanya nanya. Oh ya ngomong-ngomong Bambang siapa?" tanya Danish polos.
Damian seketika menepuk dahinya. "Kakek gue, puas?" tanyanya kemudian menggerutu, "punya temen kok bego banget sih?"
"Gue denger ya lo ngomong apa." Danish melemparkan tatapan sebal lalu menyindirnya. "Yang bego itu pas ulangan nilainya dapet 30, lah gue mah dapet 85."
"Elo 85 juga hasil nyontek Syamsul!"
"Gue nyonteknya sama Adrian bukan Syamsul," balas Danish tak mau kalah.
Damian hanya bisa mengigit ujung dasinya kesal. Ia membutuhkan stok permen untuk menambah kadar kesabarannya. Sedangkan Savara diam-diam tersenyum mendengarnya. Danish memang paling pandai merubah suasana hati seseorang. Ia tak bisa menyangkal kalau perdebatan keduanya cukup menghibur. Sayangnya itu tidak berlaku jika mereka berhadapan dengan dirinya. Savara ibarat badut di mata mereka semua.
***Selesai upacara, Savara tidak langsung ke kelas melainkan pergi ke perpustakaan. Kebetulan Sabtu kemarin ia tidak sengaja meninggalkan buku diary-nya dan saat hendak mencarinya, ruangan tersebut sudah dikunci.
Cewek itu berlari kecil menuju tempat terakhir kali dirinya duduk, tapi ia tak menemukan apa pun. Semuanya bersih tanpa ada buku yang tersisa di atas meja. Savara mendesis, menatap gusar ke sekelilingnya. Ia kemudian berjalan ke arah rak, berharap seseorang menyimpannya di sana.
Sayangnya sampai hampir semua rak diperiksa, ia tak kunjung menemukannya. Savara mengacak rambutnya frustasi, tidak bisa membayangkan jika ada orang lain menemukannya bahkan membaca isi buku tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M (NOT) THE QUEEN ✔️
Teen Fiction(Pemenang dalam event #WWC2020) Aqueena Savara bukanlah seorang ratu selayaknya nama yang ia miliki. Kata sempurna begitu jauh dari jangkauannya. Baik di sekolah, maupun di rumah, ia tak pernah mampu menjadi yang nomor satu. Savara tidak pernah men...