Bagian 19, Izin Pertemanan

939 215 123
                                    

Karena hal paling sulit adalah mengembalikan kepercayaan yang pernah dihancurkan.
***

Savara menyelonjorkan kakinya dengan punggung bersandar di jaring-jaring pembatas lapangan.  Di sebelah kanannya ada Laras dan Alicia yang sedang mengipasi wajah karena cuaca cukup terik. Kebetulan kelas mereka kebagian jadwal olahraga.

Sembari menunggu pengambilan nilai voli, anak-anak memilih menyingkir, sebagian ada yang berteduh di depan kelas meski mendapat omelan dari Pak Sastra, guru olah raga yang sebenarnya lebih pantas menjadi guru bahasa indonesia mengingat namanya yang puitis.

Tatapan Savara terhenti pada satu titik. Ada Adrian di lorong dekat mading, tampak berbicara dengan temannya yang entah siapa. Satu tangannya memegang buku paket. Sepertinya cowok itu baru saja dari ruang guru.

Semenjak kejadian di perpustakaan beberapa hari lalu, Adrian benar-benar berubah. Setiap mereka berpapasan, cowok itu akan melemparkan senyum tipis yang refleks akan Savara balas dengan membuang muka. Jujur saja, rasanya terlalu aneh menghadapi Adrian yang sekarang meski lebih aneh lagi dengan dirinya yang jadi sering memperhatikan cowok itu.

Sikap gentle-nya membuat Savara hm sedikit kepikiran. Padahal Danish juga pernah melakukan hal sama saat di rumah sakit. Kalau Damian? Cowok itu tak masuk hitungan karena permintaan maafnya terasa sangat menyebalkan. Mungkin karena sifat mereka berbeda dan seorang Adrian yang sangat tak ia duga malah berlaku seperti itu.

"Ra, dipanggil tuh!"

Savara tersentak lalu menoleh pada Pak Sastra yang menyuruhnya bersiap karena setelah ini gilirannya. Bangkit dari duduknya, ia berdiri di dekat sang guru. Merasa diawasi, Savara mengarahkan pandangan ke sekitar. Sialnya ia malah mendapati Adrian sedang menatapnya dan tersenyum simpul.

Segera Savara melengos. Ia tidak nyaman karena merasa seperti sedang diamati hingga lama kelamaan perasaan tersebut berubah membuatnya salah tingkah. Bukan hanya dirinya saja, kebanyakan cewek pasti merasakan hal sama jika terus diperhatikan oleh lawan jenisnya.

"Aqueena Savara, sudah siap?" tanya sang guru yang seketika ia angguki.

Savara menerima bola dan bersiap untuk melakukan service bawah. Ia berusaha fokus agar mendapat hasil memuaskan mengingat nilai pelajarannya yang standar.

Beruntung setelah melakukan lima kali service bawah, empat service yang ia lakukan berhasil melewati net. Savara tersenyum lega. Alicia segera memelukanya dan mengucapkan selamat, seolah dirinya baru saja memenangkan grammy award. Berbeda dengan Laras yang hanya terkekeh.

"Hebat banget sih lo! Gue cuma masuk dua," ujar Alicia antara bangga dan sedih.

"Gue tiga," timpal Laras menepuk bahu cewek di sebelahnya yang menampakan raut kusut. "Udah gak usah sedih, entar istirahat gue traktir!"

"Bakso pertigaan dong! Bosen makanan kantin terus." Alicia berusaha bernegoisasi. Kesedihannya lenyap hanya karena mendengar kata traktir.

"Boleh deh! Asal satu porsi aja."

"Huuu! Holkay kok pelit!" ucapan Alicia membuat keduanya tergelak. Sudah sukur juga mereka mendapat traktiran.

Savara menggelengkan kepala. Mengingat sesuatu, ia menoleh ke arah koridor. Adrian sedang berjalan ke arah tangga menuju kelasnya.

Gue kenapa sih jadi merhatiin dia?
***

Keempat cowok itu sedang menunggu pesanan datang. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing, memainkan ponsel.

"Gue mau bilang sesuatu."

Suara Damian membuat yang lainnya menoleh. Danish seketika was-was. Masalahnya pagi tadi cowok itu sempat bilang akan mengatakan perdamaiannya dengan Savara. Ia belum siap.

I'M (NOT) THE QUEEN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang