Cinta membuat seseorang menjadi bodoh, tapi aku bukan bagian dari orang-orang itu.
***Cewek itu membersihkan wajahnya dengan tisu. Setelah merasakan kantuknya hilang, ia melangkah keluar toilet. Agak malas sebenarnya kembali ke kelas apalagi setelah mendapat teguran dari Bu Rosa karena ketiduran. Salahkan saja mimpi buruknya yang membuat Savara terjaga semalaman.
Melihat seseorang keluar dari ruangan guru, ia mendengkus kecil. Terlebih sosok tersebut yang seketika sumringah melihatnya. Tepatnya cowok itu merasa menemukan mainan baru setiap bertemu dengannya. Siapa lagi kalau bukan salah satu dari teman Ardana? Tidak ada yang berani mengganggunya selain mereka. Itupun seperti mendapat akses dari Ardana sendiri.
Berpura-pura tak melihat keberadaannya, Savara terus berjalan, hampir melewati. Namun saat berpapasan, cowok itu malah mengambil langkah di depannya hingga Savara hampir menabraknya. Berusaha menyabarkan diri, ia bergeser untuk menghindar, tapi sang pelaku malah melakukan hal sama.
Sabar, Savara! rapalnya dalam hati. Menghadapi antek-antek Ardana memang kerap membuatnya lelah. Ia tidak tahu kesalahan apalagi yang dibuatnya hingga mantan gebetannya semasa putih biru itu begitu senang membuatnya kesal.
"Bisa minggir gak?" tanyanya sedikit membentak. Cowok dengan topi terbalik itu tersenyum miring, memajukan wajahnya hingga Savara terkejut dan refleks mundur.
"Awas!" Savara berusaha mendorong bahu cowok di depannya, tapi gagal. "Damian," geramnya dengan nada bergetar. Terkadang ia tidak kuat menghadapi gangguan seperti ini.
Usaha untuk menghancurkan Ardana satu tahun terakhir ini belum juga membuahkan hasil. Savara sampai hampir putus asa memikirkan hal tersebut.
Savara menginjak kaki Damian hingga mengaduh kesakitan. Ia kemudian berlari kecil menuju kelasnya. Meninggalkan sosok di belakangnya yang melemparkan umpatan.
"Ibu kira kamu tidur di toilet," sindir sang guru saat ia memasuki kelas.
Savara meringis, menggumamkan kata maaf sebelum kemudian berjalan menuju bangkunya. Kedua temannya langsung menoleh ke arah belakang diiringi tatapan bertanya. Ia hanya menjawab dengan kata 'biasa' dan itu sudah cukup membuat mereka mengerti.
"Sialan lo Queen!"
Cewek itu menghentikan gerakan menulisnya dan menghela nafas dalam. Perkataan Damian mungkin tidak terlalu kasar, tapi berhasil membuatnya terganggu. Apa lagi panggilan yang disematkan padanya.
Setiap orang yang memanggilnya 'Queen' bagi Savara bagai sebuah ejekan. Mengingatkannya pada ucapan Ardana dulu bahwa selamanya ia tetap menjadi gadis buruk rupa.
Hh, rasanya sakit, tapi tidak berdarah.
***"Queen tunggu!"
Panggilan kesekian yang membuatnya muak. Beruntung Savara sedang berjalan sendirian tanpa Laras dan Alicia. Mereka sudah terlebih dahulu ke kantin, sedangkan dirinya yang memang sangat lambat di matematika menjadi salah satu orang terakhir yang keluar kelas.
"Aqueena!"
Cewek itu terpaksa berbalik saat sebuah tangan menariknya. Di depannya sosok berseragam sama kini membungkukkan badan, tampak kelelahan.
"Queen!"
"Shut up!" potongnya kesal. "Berapa kali harus gue bilang, jangan pernah panggil gue dengan nama itu!"
Cewek berkacamata itu terkesiap mendengar bentakan tersebut, tatapannya menyendu. "Maaf," lirihnya menunduk dalam.
Mendengkus, Savara bersedekap dada, tak ketinggalan dengan raut angkuh yang sengaja ditampakkan. "Kalau cuma mau bilang minta maaf, mending gak usah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M (NOT) THE QUEEN ✔️
Teen Fiction(Pemenang dalam event #WWC2020) Aqueena Savara bukanlah seorang ratu selayaknya nama yang ia miliki. Kata sempurna begitu jauh dari jangkauannya. Baik di sekolah, maupun di rumah, ia tak pernah mampu menjadi yang nomor satu. Savara tidak pernah men...