Bagian 10, Pembalasan Savara

1.1K 211 64
                                    

Ada harga yang harus dibayar meski tak seberapa
***

Gadis itu menidurkan kepalanya, menatap beberapa siswa yang hilir mudik sembari memegangi berbagai macam buku. Ia tidak berminat untuk membacanya jika itu bukan sebuah novel. Savara anti dengan buku pelajaran, entahlah akan jadi apa dirinya nanti karena ia tidak memiliki bakat apa pun.

Melirik jam di pergelangan tangan, Savara menghembuskan nafas. Orang yang ditunggunya sering sekali datang tak tepat waktu. Andai saja tidak membutuhkan bantuannya, Savara sudah beranjak sejak tadi karena bel istirahat sebentar lagi berakhir.

Savara segera menegakkan badan. Ia sudah hafal dengan nada dari langkah cowok itu yang grasa grusu. "Lama banget sih?"

Danish cengengesan, wajah tampak memerah karena berlari dari warung depan sekolah. Belum lagi ia harus memberikan alasan pada ketiga sahabatnya, juga memastikan si rajin Adrian tidak pergi ke perpustakaan saat ini.

"Gue abis jajan di depan, terus juga gue mastiin dulu Drian gak ke sini." Danish berusaha membela diri, sedangkan cewek itu hanya memutar bola matanya.

"Btw ada apa lo ngajak ketemuan? Kangen ya?" tanya Danish kemudian berkata pada diri sendiri, "Cieeee Danish dikangenin."

Savara yang melihat tingkah over percaya diri cowok itu berdecak. Menyadari mereka sedang berada di depan umum, Savara segera menarik Danish ke lorong rak yang lumayan sepi.

"Jangan banyak omong," larang Savara. Danish yang hendak bicara segera merapatkan bibirnya. Ia kemudian menggerakkan tangan sebagai isyarat kalau Savara harus memberitahukan tujuannya mengajak bertemu secara sembunyi-sembunyi.

"Gue butuh bantuan lo."

Danish mengangkat kedua tangan dengan mulut bergerak, mengatakan apa tanpa suara. Melihat itu Savara jadi ingin tertawa.

"Gue kehilangan buku diary di sini. Sampulnya warna biru langit, ada gambar mahkota kecil di tengahnya. Lo bisa bantu cari?" tanya Savara, padahal satu minggu sudah berlalu, tapi ia masih tak putus asa. Savara berharap ada keajaiban dan ia dapat menemukan buku tersebut. Danish mengetukkan jemari ke dahi, sebelum kemudian mengangguk.

"Jawab pake suara, lo lama-lama nyebelin ya." Savara jadi kesal juga dengan kelakuan Danish.

"Tadi sih disuruh diem," keluh cowok itu, "eh tapi isi diary-nya tentang apa? Pasti curhatan tentang cowok yang lo suka. Iya, kan? Ayo ngaku!" Danish menaik turunkan alisnya. Untung Savara sabar jika hanya di handapakan dengan tingkah cowok itu.

"Nish!" tegur Savara hingga Danish menghentikan tawanya. "Pokoknya bantu cari, gue bisa mati kalau buku itu bener-bener jatuh sama orang yang gak tepat."

Melihat ketakutan di wajah cewek itu, Danish akhirnya mengangguk. Seharusnya ia tak banyak bercanda tadi. "Iya gue bantu cari entar. Jangan sedih lah, gue suka pingin meluk soalnya."

Bercanda lagi. Savara yang mendengar itu seketika mendelik.

"Hehe canda, Beb." Danish suka tak tahu tempat, beruntung tak ada yang mendengar.

"Udah sana balik. Gue juga mau ke kelas."

"Yuk bareng!" ajakan cowok itu dibalas dengkusan. "Eh iya lupa. Kita ini backstreet yak?"

"Udah sana! Kebiasaan banget sih banyak omong!" Savara mendorong tubuh Danish agar segera pergi, setelah itu giliran dirinya. Padahal mungkin saja orang-orang tak memperhatikan kedekatan mereka. Namun, Savara terlalu waspada.

"Iya deh iya, Babang tampan pergi. Awas jangan kangen ya!" Danish melambaikan tangan lalu berbalik.

Savara menggelengkan kepala. Tak habis pikir dengan tingkah cowok itu. Ah, Danishnya yang baik hati, malang sekali karena bersahabat dengan ketiga cowok menyebalkan itu
***

I'M (NOT) THE QUEEN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang