Davanka bersama ke dua orang tuanya juga beberapa anggota keluarga mendatangi rumah orang tua Putri.
Ke dua pihak keluarga itu kini telah duduk berhadapan, cemilan juga minuman telah tersedia di atas meja.
Putri melirik Davanka dengan raut wajah bingung sekaligus terkejut.
"Pulanglah ke rumah orang tua, mu. Hari minggu Saya akan ke sana."
Hanya itu pesan yang Putri terima, Davanka tak mengatakan akan membawa orang tua nya juga. Hal itulah yang membuat Putri terkejut.
"Langsung saja, ya, pak Hamdan." Kata Yogi. Beliau adalah paman Davanka, kakak kandung Agung, sekaligus penasihat di keluarga mereka.
Pak Hamdan mengangguk mantap mempersilahkan pak Yogi untuk melanjutkan ucapannya.
"Kedatangan kami beserta keluarga, kemari, berniat untuk menyambung silaturahmi. Sekaligus mempererat ikatan kekeluargaan, juga,-"
"Om, boleh ga, Davanka yang meminta ijin ke pak Hamdan secara langsung." Davanka tiba-tiba menyahut. Hal itu langsung membuat para keluarga tersenyum.
"Oh, tentu, silahkan." Yogi mempersilahkan.
"Bismillahh," Davanka menarik nafas mengucap kalimat itu di dalam hati.
"Pah Hamdan, ijinkan saya menggenggam tangan, Bapak, menjadi orang yang bisa, Bapak percaya untuk menjaga Putri, Bapak. Kedatangan saya bersama keluarga kemari untuk melamar putri, Bapak, yaitu Nafisah Putri."
Pak Hamdan tersenyum mendengar ucapan Davanka yang begitu mantap. Lalu meminta Davanka untuk melihat wajah Putri terlebih dahulu, jika dia tidak berkenan maka ia berhak untuk membatalkan lamarannya.
Davanka menarik nafasnya dalam-dalam lalu mengangguk setuju untuk melihat wajah Putri.
Sementara Putri yang di minta untuk melepaskan cadarnya, masih terdiam membisu dengan wajah tertunduk. Ia berusaha menenangkan gemuruh di hatinya yang kian berpacu kencang, antara bahagia atau berduka? Putri tak mengerti dengan situasinya saat ini.
"Ayo, neng. Perlihatkan wajah mu."
Umi Rahma mengusap punggung Putri. Maka dengan tangan gemetar dan perlahan Putri melepaskan Cadarnya.
Seorang gadis yang selama ini hanya bisa Davanka lihat mata indahnya yang berwarna coklat, di hiasi bulu mata lentik juga halis tebal.
Kini Davanka terpaku melihat wajah indah, Putri. Kulit putih bersih, hidung mancung juga bibir tipis yang di hiasi sedikit liptin, membuat Davanka sulit untuk mengalihkan pandangannya.
"Untuk pertama kalinya, kini aku bisa melihat wajah mu. Tak hanya kelopak matamu saja, untuk pertama kalinya kini aku tau sebegitu indahnya ciptaan Allah, yang selama ini terjaga di balik cadar. Maka masih pantas kah, pemuda yang baru hijrah seperti ku, memiliki wanita sesempurna kamu?"
Davanka segera menundukkan pandangannya, dan Putri kembali memakai cadar nya.
"Bagaimana, nak, Davanka. Apa masih mau di lanjutkan?" kata Pak Hamdan.
Davanka masih bergeming, ia kembali menarik nafasnya dalam lalu mengangkat wajahnya dan mengangguk.
"Iya! Insyaallahh, jika bapak memang mengijinkan, orang seperti saya bisa memiliki Putri, bapak. Pemuda yang bahkan belum genap setahun hijrah, pemuda yang bahkan, mungkin, ilmunya akan jauh lebih rendah dari Putri, bapak. " Davanka kembali menunduk. ia merasa malu dan tak pantas menjadi suami seorang gadis seperti Nafisah Putri.
"Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani, pernah berkata, 'Aku lebih menghargai orang yang beradab daripada berilmu. Kalau hanya berilmu, iblis pun lebih tinggi ilmunya dari pada manusia.' Begitupun dengan pasangan, jika saya berniat menikahkan Nafisah dengan orang berilmu, mungkin saya akan meminta seorang kyai untuk menikahinya. Tapi bukan berarti seorang kyai/ustad tidak beradab! Hanya saja, saya ingin mencari pasangan yang bisa menjaga nya."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Story With You
General FictionHijrah itu mudah kok. Yang sulit itu Rasa Siap nya, Rasa Malu nya, dan Rasa gengsi nya. "Arif melamar aku, kak." Ucap Putri sembari menunduk. Davanca terkejut kontan menatap Putri yang sudah menunduk dalam. Ada rasa sesak yang tiba-tiba saja menusuk...