apakah ini takdir?

26 7 5
                                    

Davanka dan Putri saling melongo menatap keberadaan masing-masing.
Davanka tak habis pikir ia akan bertemu dengan Putri, karna tujuannya sejak awal menerima perjodohan ini agar ia bisa menjauh dari Putri dan melupakannya, begitupun dengan Putri.

Lalu bagaimana mereka bisa bertemu di tempat yang sama? Mungkinkah ini takdir yang memang sudah tersusun agar mereka bersama? Itulah yang tengah di pikirkan Putri dan Davanka.

"Nafisah, duduk, nak." Rahma memegang tangan Putri.

Putri yang masih terbengong pun menuruti permintaan Ibunya.

"Masyaallah, putri pak Hamdan sekarang bercadar ya?" Tanya Wulan.

"Alhamdulillah, Nafisah sudah istikomah dengan cadarnya sejak masuk kuliah di bandung." terang Rahma.

"Loh, kuliah di bandung mana? Davanka juga kulian di bandung."

Obrolan orang tua pun semakin mendalam, Putri hanya menundukkan kepalanya. sementara Davanka menatapnya dengan tatapan iba, yang Davanka tau Putri telah menerima lamaran Arif dan akan menikah dengannya. Davanka berpikir Putri mencintai Arif, ia tak ingin Putri tersiksa dengan perjodohan ini.

"Kenapa harus kamu, put? Aku bersedia menerima perjodohan ini karna ingin menjauh dari kamu. Tapi kenapa wanita yang di pilih orang tua ku justru malah kamu."

Setelah obrolan selesai Rahma mendorong Hamdan di kursi rodanya untuk beristirahat di kamar karna mendadak merasa sedikit sesak. Putri pun mengikuti untuk membantu mengangkat Hamdan ke tempat tidur.

Agung dan Wulan hanya mengangguk memaklumi karna pak Hamdan memang sudah sepuh.

Setelah mereka pergi,
Wulan menyenggol lengan Davanka.

"Gimana? Cantik kan, Shalihah lagi." Wulan menggoda.

"Kok mamah tidak bilang namanya Putri?" Tanya Davanka.

"Loh, mamah kan bilang namanya NAFISAH. Ya Nafisah Putri kan, mamah bahkan nunjukin fotonya ke kamu, terus mamah juga cerita ciri-cirinya, Kamu aja yang tidak pernah mau demgerin."

Davanka merutuki dirinya sendiri.
Kenapa dulu ia tak pernah mendengarkan jika Wulan membicarakan tentang gadis yang akan di jodohkan dengannya itu.

"Emang kenapa sih? Kamu kenal?" tanya Wulan.

"Kita satu kampus, bahkan jurusan kita sama."

"Wah, bagus dong kalo gitu, kamu jadi bisa sering ketemu buat pengenalan lebih jauh."

"Enggak begitu, mah. Bisa gak sih kita batalin ajah?"

"Huss! Kamu ini ngomong apa sih, Davanka. Dari awal papah kan sudah bilang sama kamu, jika kamu bersedia berkenalan dengannya berarti kamu telah bersedia menikah dengannya." Agung berucap tegas pada Davanka.

Sejak awal Agung memang sudah sering sekali membicarakan masalah ini, makanya Agung tak pernah memaksa Davanka untuk mau di kenalkan. Karna konsekuensinya jika Davanka bersedia berkenalan artinya Davanka siap untuk menerima gadis itu. Toh, Putri tak memiliki kekurangan yang mungkin akan membuat Davanka menolaknya.

Davanka menundukkan kepalanya, ia sadar ia telah berjanji pada kedua orang tuanya. "Davanka siap jika harus menikahinya mau seperti apa dan bagaimanapun gadis itu, Aku siap!" Itulah yang Davanka katakan dulu ketika Agung bertanya.

"Tapi, Davanka kan masih kuliah, pah. Belum bisa nafkahin anak orang. Kalo Rio kan sudah punya cafe sendiri, dia punya penghasilan makanya dia siap menikahi Farah." Davanka mencoba beralibili.

"Kamu pikir papah enggak tau? Kamu punya proyek di rumah sakit tempat Imran bertugas kan? Seperti Rio yang punya caffe resto, kamu juga calon sarjana arsitektur. Kamu sudah mendirikan lima vila yang kamu disain sendiri, kamu juga jadi photographer, hobi sekaligus penghasil uang yang lumayan. makanya kamu jarang pulang selama ini. Malah skripsi kamu pun tidak pernah selesai karna kamu terlalu sibuk sama proyek kamu itu."

My Story With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang