Patblikur💔

689 59 4
                                    

Syila menggigit ujung kuku telunjuknya, memperhatikan gerak-gerik seorang gadis yang sedang menyanyikan sebuah lagu tentang Ibu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Syila menggigit ujung kuku telunjuknya, memperhatikan gerak-gerik seorang gadis yang sedang menyanyikan sebuah lagu tentang Ibu.

Rasanya, air mata ingin langsung turun dari pelupuk mata Syila. Suara Melan memang tidak cukup bagus, tetapi itu cukup untuk menghibur diri Syila.

Mata Syila pun mulai terpejam karena nyanyian Melan. Kepala Syila kini sedang berada di pangkuan Melan sehingga rasanya Syila sedang merasakan kasih sayang seorang Kakak.

"Kasih Ibu, kepada Beta ... tak terhingga, sepanjang masa ... hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang Surya menyinari dunia." Melan menyanyikan lagu itu sembari menepuk-nepuk pelan kepala Syila.

"Jika diresapi air mata pun bakal selalu ngalir kalo nyanyi lagu ini. Tentang perjuangan seorang Ibu yang nggak pernah mengharapkan apapun demi kebahagiaan anaknya," lirih Melan sembari menyelimuti Syila yang sudah terlelap.

Tentang kasih sayang Ibu yang tak pernah terhitung nilainya, tetapi kenapa semua perjuangan Ibu dilupakan dengan mudahnya?

Tentang kamu yang tidak pernah menurut kepada orang tua, tentang kamu yang ketika diminta pertolongan selalu berkata "ah" dan sebagainya. Tak pernahkah kamu memikirkan perasaan ibumu? Tak sadarkah betapa sakitnya ucapanmu itu? Marilah sama-sama memperbaiki diri. Manusia tempatnya salah, bukan? Memang, tetapi jangan jadikan semua itu sebagai acuan.

***

Naura masih tidak habis pikir dengan Yasmin. Bagaimana bisa dia menolak perintahnya? Padahal selama ini, Naura yang selalu membantu Yasmin ketika sedang dalam masalah apapun.

"Nggak-nggak! Gue ngga boleh kalah sama Yasmin, enak aja maen nolak perintah gue. Pokoknya dia harus bayar semua tingkahnya itu!" Naura menyunggingkan senyum licik. Ia mengetikkan sesuatu di ponselnya kepada salah satu anak buahnya.

***

Sudah satu bulan lebih, Yasmin mencari pendonor yang cocok untuk ginjal ayahnya. Dengan rasa cemas yang tak tertahankan Yasmin tidak sengaja menabrak seseorang yang cukup familiar.

"Dinda?"

Dinda mengerutkan keningnya bingung, kenapa Yasmin berada di sini?

"Yasmin? Ngapain lo di sini? Ada masalah lagi lo sama gue?" tanya Dinda bertubi-tubi.

Yasmin melirik Dinda sekilas. "Ngapain juga ngejawab lo, kaya ngga ada kerjaan!"

"Yok Din kita ... Yasmin?!" pekik Faisal kaget.

"Ngapain lo di sini?" tanya Faisal.

Yasmin enggan untuk menjawab sepasang kekasih yang ada di depannya. Ia lebih memilih pergi ke taman belakang rumah sakit untuk menenangkan dirinya agar bisa mencari jalan keluar.

"Kenapa dia?" tanya Faisal kapada Dinda.

"Ngga tau, dari raut wajahnya sih ada masalah." Dinda menjawab asal, tetapi Faisal menanggapinya dengan serius.

"Kita ikutin dia!"

"Tapi, Fa--"

"Diem!" perintah Faisal. Dinda pun hanya mengangguk pasrah atas permintaan kekasihnya itu.

***

Yasmin duduk di sebuah kursi kayu tua, sungguh, hari ini begitu melelahkan untuknya. Air mata sudah tiba-tiba turun, dengan secepat kilat Yasmin menghapusnya.

Namun, semua itu tidaklah menutupi semua kesedihannya. Kedua tangan Yasmin menutupi wajah Yasmin. Tanpa suara, Yasmin terisak dengan sedihnya.

"Gimana sama Bapak? Kenapa belum ada pendonor yang cocok buat Bapak?" tanya Yasmin pelan. "Bapak ... Yasmin takut ...."

"Sakit apa Bokap lo?" tanya Faisal tiba-tiba.

Yasmin yang terkejut langsung membuang wajahnya sembari menghapus air matanya.

"Lo berdua ngikutin gue?!" tanya Yasmin sedikit berteriak.

"Bokap lo butuh pendonor? Apa penyakit Bokap lo, Min?" Kini giliran Dinda yang bertanya. Sungguh, Dinda tidak menyangka, ternyata Yasmin sedang berada di fase tersulit seorang anak.

"Ngga usah sok peduli! Gue ngga butuh itu!" bentak Yasmin, penuh penekanan. Yasmin pun langsung bergegas untuk kembali ke ruangan ayahnya.

***

Zian mendengar sebuah vas bunga pecah kembali. Rumah yang ia tinggali ini memang tidak pernah terasa sepi, selalu ada keramaian.

Oleh karena itu, Zian lebih suka untuk sesegera mungkin bergegas pergi dari rumah Rian. Namun, Zian menggagalkan rencananya kali ini. Pupilnya tidak sengaja menangkap pintu kamar Melan yang sedikit terbuka itu.

Dengan rasa ragu, Zian masuk ke kamar Melan. Mencari-cari keberadaan seorang adik yang menurutnya itu adalah adik satu-satunya.

Sayup-sayup Zian mendengar pembicaraan dua orang gadis tanpa ada sosoknya. Zian menetralkan jantungnya yang berpacu dengan begitu kencang. "Gue cowok, gue bukan pengecut!"

Lagi, Zian mulai mendekat ke arah sumber suara itu, tetapi Maesah tiba-tiba datang mengejutkannya.

"Lo mau maling?" tanya Maesah.

Zian yang mendengar itu tak habis pikir dengan pikiran kakaknya itu, mulutnya memang tidak pernah dijaga. "Maling? Lo pikir, gue itu lo?" balas Zian tak kalah tajam.

Suasana yang rasanya semakin mencekam itu membuat Maesah memilih pergi. Sia-sia saja berbicara dengan adik laki-lakinya itu, sikap keras kepalanya itu cukup untuk diacungi jempol. Jika menurut Zian perbuatannya itu benar, maka semuanya juga harus setuju kalau dia itu benar.

Ketika Maesah sudah hampir jauh dari ambang pintu, suara berat dari adiknya-Zian mampu menghentikan langkahnya. "Lain kali kalo mau masuk tuh ketuk pintu, pake attitude! Gue bukan Ayah yang bakal ngebiarin semua perbuatan buruk lo!"

Maesah langsung berbalik, tetapi dari bawah diam-diam Melan dan Syila mendengarkan pembicaraan mereka berdua. "Lo yang ngga punya attitude! Sopan kalo ngomong sama yang lebih tua, dasar bocil!"

 "Lo yang ngga punya attitude! Sopan kalo ngomong sama yang lebih tua, dasar bocil!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semoga ada yang nungguin update😭

Seru ngga nih? Seru dong harus, maksa nih🤣

Komen next, kuy!

Menjadi KAMU [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang