Telu Papat🐋

953 70 28
                                    

Komen ngga sampe 100 ngga papa. Kemarin banyak tugas itu buat nunda aja awokwok😂

Happy Reading 😍

***

Zian telah melaporkan Moza dan Fahri kepada pihak berwajib. Zian tak habis pikir dengan jalan pikiran kekasihnya. Kenapa dia bisa sebodoh itu dibuat oleh seorang Moza. Ia bahkan tidak sadar jika selama ini dirinya dijadikan pamong oleh Moza pikirnya.

"Zi, dengerin aku dulu, Zi!" pinta Moza. Hatinya begitu perih melihat Zian merasa kecewa terhadap dirinya. Ia benar-benar tidak sanggup jika mencintai seseorang memang sesakit ini.

"Zi, percaya sama aku. Aku ngga mungkin ngelakuin itu sama Maesah, Zi."

Tamparan keras melayang di pipi Moza. Itu adalah tamparan dari Maesah. "Licik, lo! Main lo kurang jago!"

Moza memegangi pipinya yang memerah akibat ulah Maesah. Namun, Zian membiarkan Maesah untuk marah. Dia berhak karena menyangkut harga dirinya dan keluarganya.

Tamparan kembali didaratkan di pipi kiri Moza agar seimbang. Maesah benar-benar marah.

"Jadi, lo yang dulu gue bully? Kalah kan, lo?!"

Mendengar perkataan Maesah, Zian langsung bertanya-tanya. Apakah sebelumnya ada masalah diantara keduanya?

Alfin mencoba menenangkan Maesah. Ia kewalahan. Ketika sedang marah, Maesah pasti lepas kendali. "Udah, Mae!"

"Tapi mereka udah keterlaluan, Al. Mereka buat harga diri gue dipertanyakan. Gue nggak terima!"

Maesah melangkah maju, ia langsung menampar Fahri dua kali tanpa jeda. Darah keluar dari sudut bibir Fahri.

"Buat lo mantan yang nggak tau diri!" Maesah kian sudah merasa lega. Ia benar-benar sudah merasakan kedamaian dirinya kembali.

"Gue nggak nyesel di tahan. Hutang gue sama lo udah lunas. Semua ini itu kesalahan masa lalu lo yang mendarah daging." Fahri tertawa membuat Maesah semakin geram.

Di lain sisi, Moza meminta waktu berbicara dengan Zian. Zian menolak, tetapi Moza tetap teguh pendirian.

"Zi, gue tulus sayang sama lo. Gue nggak mungkin jadiin lo alasan buat gue balas dendam sama Mae." Moza menjeda kalimatnya, "Zi, lo berhak marah sama gue. Gue juga ngga maksa lo buat percaya sama gue. Tapi Zi lo berhak tau kalo gue bahkan ngga bersalah dalam kasus ini."

"Udah ngomongnya?" Pertanyaan itu langsung membuat Moza tersenyum miris.

"Belum. Zi kalo lo emang pengen tau yang sebenarnya datang ke kantor polisi. Temui gue di sana. Gue bakal jelasin semuanya. Gue nggak mungkin bohong sama lo, Zi. Karena gue udah pernah kehilangan seseorang yang sangat berharga dalam hidup gue. Kali ini, ngga semudah itu gue bakal ngelepasnya kembali." Moza tersenyum getir, nampaknya Zian terlihat sangat muak dengan semua kalimatnya.

Polisi pun menarik tangan Moza dengan kasar. Mereka pun dibawa ke kantor polisi.

"Maaf, Za. Gue belum sanggup buat tau semuanya." Zian menatap sendu kepergian Moza.

***

Melan mendapatkan telepon dari Naura. Naura meminta Melan untuk bertemu dengannya di rumahnya. Sebenarnya tubuhnya masih terasa sangat lemas, tetapi Melan memaksakan.

Melan menyalakan motornya dan bergegas pergi ke rumah Naura. Sesampainya di sana, ia mendapati Naura sedang bersama dengan Dion.

Melan tentu merasa ragu apakah dia harus masuk atau tidak. Namun, panggilan dari Naura membuat Melan segera masuk.

"Akhirnya udah dateng." Naura terlihat sangat bahagia melihat Melan ada di depannya.

"A-da hal pe-penting apa?" Melan bertanya.

Naura langsung tertawa remeh melihat Melan. "Gue sekarang tau kenapa lo jadi pelakor. Soalnya udah keturunan!"

Napas Dion terasa tercekat. Ia bingung harus berbuat apa. Naura sudah meminta Dion untuk berjanji agar tidak ikut campur.

Naura menginjak kaki Melan menggunakan sepatunya. Senyumnya menyeringai melihat sepercik darah keluar. "Sepatu bagus ini, nggak ada tandingannya sama sendal swallow punya lo."

Melan memekik kesakitan ia merasa perih. "Maksud kamu apa, sih?"

Naura tersenyum jahil. Sepertinya Melan pura-pura tidak tahu soal aib keluarganya. "Jadi, lo mau jadi pelacur juga kaya Maesah?" Pertanyaan itu diakhiri tamparan keras di pipi Naura.

"Berani lo sama gue?!" Naura membentak, pipinya terasa nyeri.

"Aku ingetin ya sama kamu, Kak Mae itu korban dari oknum yang ngga bertanggungjawab. Jadi, jangan pernah kamu nyebut dia sebagai pelacur! Kamu pikir kami kekurangan? Rumah kami bahkan lebih besar dari pada rumah kamu dan barang-barang mewah milik kamu!" Melan menegaskan tentang kedudukan Naura.

Dion benar-benar bingung dari tadi ia kelimpungan bukan main.

Naura mendesis. "Pernah dianggap sama dia? Pernah dibela sama dia? Pernah lo jadi kebanggaan dia?!"

"Aku ngga perlu jelasin itu sama kamu. Intinya, kamu ngerendahin aku ... aku masih sabar, tapi jangan pernah anggap keluargaku kaya gitu lagi." Melan menjeda kalimatnya, "sebagai seorang adik, aku juga berhak melindungi dia. Tanya sama adikmu, Ra. Apa kalo kamu dihina sama orang dia bakal diem aja?"

"Dan untuk kamu, Kak Dion. Jaga pacar kamu ini, jangan pernah ganggu kehidupan keluarga aku!" Tatapan Melan kini beralih ke Naura kembali. "Maaf untuk tamparan tadi itu cuma spontan."

Setelah membuat Naura dan Dion menganga dengan lebarnya, Melan langsung berlalu pergi.

"Itu Melan, kan?" tanya Naura. Ia benar-benar tidak menyangka.

***

Rian mendapatkan rumor buruk. Ia langsung bergegas untuk pulang untuk melihat keadaan Maesah. Sepertinya anak itu pasti akan ketakutan. Akan tetapi, setelah mencari-cari di penjuru rumah Rian bahkan tidak menemukan Maesah sama sekali.

Pandangannya tidak sengaja melihat Melan masuk. Kemarahan Rian kian kembali naik. Rian menarik kasar tangan Melan yang kondisinya masih lemah.

Rian membawa sapu tutus yang entah sejak kapan sudah ada ditangannya. "Pasti kamu kan yang bikin video itu!" Tanpa menunggu jawaban dari Melan, Rian langsung memukuli Melan dengan sadisnya.

Para pembantu di sana bahkan ikut merasakan tegang. Mereka ingin membantu, tetapi nyali mereka begitu ciut.

"Salah apa sih Mae sama kamu trasi? Kamu ngga mikir gimana kondisi psikis Mae, hah?!" Rian kembali memukuli Melan menggunakan sapu tutus itu.

Lebam sudah di mana-mana. Mata Melan pun mulai sayup-sayup. Pelukan hangat di perut Melan membuat pukulan itu terhenti. Gadis itu melindungi Melan sembari menangis.

"Syila?" Melan tersenyum hangat. Dunianya kini kembali redup. Melan pingsan.

***

Cerita ini ngga fokus ke percintaan Melan, ya. Soalnya Melan juga ngga mungkin pacaran. Jadi, jangan harap awowkok.

Ini cerita fokus ke permasalahan keluarga Melan, ya. Tapi dibumbui sedikit sama cerita sahabat²nya.

Bentar lagi cerita ini tamat, ayo sisain napasnya buat bagian akhir. Tarik napasss buaaangg😂

See you next part! 💜

Menjadi KAMU [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang