Telung Puluh🎀

784 68 4
                                    

Jika aku tiada, mungkin kalian bahagia.

***

"Ibu! Melan pengen beli kaca." Melan tengah berada di balkon bersama—Refina—memandangi langit fajar.

Refina terkekeh. "Kok kaca? Melan ngga mau minta yang lain?" Refina geleng-geleng kepala dengan permintaan anaknya.

Melihat reaksi Refina seperti itu, Melan menggembungkan pipinya. "Melan mau kaca, Bu. Biar kalo suatu hari Melan salah jalan, Melan bisa ngaca. Kaya kata orang-orang lho, Bu."

Lagi-lagi Refina dibuat tergelak. "Melan ngomong apa sih, sayang?"

"Ih, Ibu! Kaca itu juga istimewa tau, adanya dia itu untuk kita instrospeksi diri. Nggak ada yang sempurna di dunia ini, agar Melan selalu sadar, meski Melan ditakdirkan dengan keluarga yang lengkap, Melan nggak boleh sombong," ucap Melan diakhiri dengan geraman marah.

Refina tersenyum simpul. "Melan juga harus ingat, ada kalanya kelengkapan itu pergi. Kalo suatu hari salah satu keluarga Melan pergi, Melan harus janji, Melan harus menyatukan mereka kembali."

Melan bertanya, "Ibu ngomong apa?"

Refina hanya mengelus puncak kepala Melan. Ia mengarahkan telunjuknya ke salah satu bintang fajar yang tidak lain adalah—planet Venus. "Lihat, bintang itu lebih terang di bandingkan dengan yang lain. Melan juga harus jadi penerang di antara keluarga Melan."

Melan mengangguk antusias. "Melan janji, Bu. Melan bakal selalu seperti bintang itu."

***

Melan teringat janjinya ketika bersama dengan Refina. Janji yang ia buat dulu, ketika ia ingin menjadi penerang untuk keluarganya.

Jika saja Melan tahu, Refina akan pergi secepat itu. Melan menghapus air mata yang entah sejak kapan sudah singgah di pipinya. Hari itu, Melan begitu bahagia dengan Refina.

Seusai salat subuh, mereka berlomba untuk ke balkon kamar Melan. Siapa yang menang, semua permintaannya akan dituruti.

"Ibu bakalan kalah!"

"Melan yang bakalan kalah."

"Melan ngga nerima kekalahan, Ibu!"

Semakin Melan mengingat, semakin sesak dadanya dibuat sendiri. Kenangan bersama Refina terasa begitu singkat, semua kelakaran yang biasa mereka lakukan kini sudah lenyap. Semuanya terasa senyap, Refina pergi untuk selamanya.

"Ibu." Melan memejamkan matanya, menetralkan dirinya sendiri.

***

Moza tengah mengingat masa lalunya. Masa di mana Maesah selalu menginjaknya bagaikan sampah yang tidak ada harganya. Padahal, jika sampah anorganik didaur ulang pun, sampah itu bisa menghasilkan uang.

Sama seperti Moza, dulunya ia dihina dan dikucilkan karena rupanya yang berjerawat dan juga dekil.
Sepeninggal ibu dan ayahnya, Moza kini bekerja di sebuah cafetaria. Di tempat itu pula, Moza bertemu dengan Zian. Awalnya Moza tidak tahu jika Zian adalah adik Maesah. Akan tetapi, setelah Zian menceritakan seluk beluk keluarganya Moza mengerti, bahwa Zian adalah adik dari seorang Maesah—pembulli kalangan rendah.

Menjadi KAMU [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang