Gadis itu memikirkan nasibnya yang sampai sekarang belum menemukan titik terang. Takdir yang cukup buruk untuk dirinya.
"Apa akan ada bidadari tak bersayap yang melindungi Syila? Apa akan ada malaikat penolong untuk Syila?" tanya Syila dalam benaknya.
Syila memeluk dirinya sendiri, ia merintih dengan pilu. Ia ingin hidup bebas layaknya manusia yang lain. Ia ingin merasakan kehangatan dari pelukan keluarganya sendiri.
Syila berjalan mengelilingi perpustakaan kecil yang terdapat di kamarnya. "Apakah bidadari benar-benar ada? Apakah jika suatu hari Syila pergi, Syila akan menjadi bidadari? Bidadari yang selalu ingin membuat kebahagiaan kepada siapapun. Tidak seperti nasib Syila yang sekarang ini. Hanya sendiri."
Syila mendongak ke atas, melihat atap yang di atasnya tepat kamar milik kakaknya, Melan.
"Kapan Kak Melan jemput Syila? Kak Melan ngga sayang sama Syila?" Ribuan pertanyaan selalu ada. Belum ada satupun pertanyaan yang terjawabkan.
***
Jer meminta izin kepada Pak Bejo untuk bertemu dengan Fatiha. Dengan izin Pak Bejo, Jer pun datang ke Alun-Alun Brebes untuk bertemu sang pujaan hati.
Mengapa Fatiha begitu menarik di mata seorang Jer? Banyak gadis lain yang menyukai dirinya, tetapi kenapa Jer lebih memilih Fatiha?
Fatiha sudah tiba di sana terlebih dahulu, ia duduk sembari menundukkan wajahnya. Sungguh, Fatiha begitu takut jika ada warga yang mengenalnya.
"Assalamu'alaikum," ucap Jer.
Fatiha langsung bangkit. "Wa'alaikumussalam, Kak."
"Berapa kali saya bilang? Panggil Jer saja!" pinta Jer lembut.
Fatiha menggeleng. "Mana bisa saya memanggil laki-laki yang usianya lebih tua dari saya tanpa panggilan Kak atau Mas?"
Jer tersenyum penuh arti. "Kalau begitu panggil saya Mas," ungkap Jer yang langsung membuat pipi Fatiha merah merona.
Sebotol air mineral diberikan kepada Fatiha dengan satu tangannya memegang sebotol air mineral yang lain. Senyum terukir jelas di bibir Fatiha menandakan bahwa dia sangat berterima kasih karena telah diberikan air. Angin yang tiba-tiba muncul itu hampir membuat kerudung yang dipakai Fatiha terbang. Untung saja ada Jer yang melindunginya.
"Terima kasih, Mas. Mas sudah terlalu banyak membantu saya," tutur Fatiha. Tatapannya menghadap ke samping, tepat di mana Jer berada.
"Apa maksudnya? Saya nggak pernah membantu kamu di luar kemampuan saya." Jer menenggak air mineral itu hingga tersisa setengah. Rasanya ketika berada dengan Fatiha dunianya langsung tenggelam juga dalam perasaanya.
Bagaimana bisa seorang janda secantik ini belum menikah lagi? Laki-laki manapun pasti akan terpikat dengan kecantikannya yang begitu menawan. Kenapa juga Fatiha terikat dengan hutang yang begitu melilit?
"Mas sudah membantu saya melunasi hutang-hutang saya ketika bersama dengan suami saya. Bagaimana bisa itu semua saya anggap kecil?" tanya Fatiha terlihat sendu. Pikirannya langsung teringat dengan kejadian tragis yang menimpa suaminya.
Kedua anaknya yang telah meninggal pun selalu mengingatkan Fatiha akan kelalaiannya sebagai seorang Ibu.
"Nampaknya, saya nggak layak jadi seorang Ibu, Mas."
Jer menggeleng kuat. "Saya di sini bukan untuk membahas masa lalu kamu. Saya tau, ketika kamu berbicara tentang masa lalu, pasti kamu akan tersakiti. Bagaimana saya bisa memberikan penderitaan itu kepada kamu?"
Fatiha tersenyum simpul. Benar juga, kenapa Fatiha berbicara itu-itu saja ketika bersama dengan Jer? Bukankah itu akan menyakiti hati Jer juga?
"Maafkan saya, Mas."
"Saya hanya ingin mengutarakan rasa saya kepada kamu. Rasa yang selama ini belum pernah saya temui selama ini. Dulu, saya tidak pernah merasakan apa yang saya rasakan. Saya tidak pernah percaya bahwa saya akan mencintai seseorang selain keluarga saya sendiri. Tapi, semua itu sudah jelas. Pemikiran saya semua itu salah," ungkap Jer panjang lebar.
"Maksud, Mas?" tanya Fatiha.
Jer dan Fatiha saling bertatapan. Sebuah perasaan yang diam-diam merambah ke hati kedua insan ini cukuplah rumit. "Saya cinta sama kamu. Saya berniat untuk melamar kamu."
Fatiha terasa tersambar petir sekarang ini. Ia langsung bangkit dari duduknya, menjatuhkan air mineral yang sedari tadi ia genggam. "Apa yang Mas katakan ini? Saya tentu akan menolaknya!"
***
Moza mempunyai dendam yang ternyata itu adalah tujuan utama ketika mendekati Zian. Moza juga tidak menyangka, ternyata perasaannya terhadap Zian itu bukanlah hasil rekayasa. Itu murni perasaan yang Moza miliki untuk Zian.
"Mozi, nama yang cukup unik singkatan dari Moza dan Zian," ucap Moza ketika membayangkan dirinya menjadi istri Zian.
"Tapi, Maesah kamu tau? Siapa gue sebenernya? Gue itu cewek yang dulu selalu lo injak waktu SD. Gue dateng bukan cuma ngejar adik lo. Tapi, gue juga pengen lo ngerasain apa yang gue rasain dulu." Moza berhenti sebentar dari kalimatnya.
Moza duduk di ayunan yang terbuat dari jaring. Peninggalan ibunya dulu yang selalu menjadi penenang untuk dirinya ataupun penghibur dirinya ketika sedang marah.
"Lo yang nganiaya mungkin udah lupa sama yang dulu lo lakuin. Sedangkan gue yang jadi korban? Gue selalu inget apapun yang dulu lo lakuin. Gue emang miskin, tapi gue juga punya harga diri! Sejak kejadian itu, gue udah janji buat ngebuat diri lo hancur sehancur-hancurnya!" tegas Moza tajam.
Kira-kira udah pernah nangis belum pas baca cerita ini?
Update lagi, semoga banyak yang sukaaa.
Jangan lupa baca Ranselku, yup.
Komen next kuyyy🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi KAMU [Selesai]
Genç Kurgu>> SAD + ROMANCE << "Kalo itu keinginan Ayah ... Melan bakal turutin." Aku atau adikku yang dikorbankan? Melan-itu adalah panggilanku. Akan tetapi, tidak untuk keluargaku. Aku kira aku adalah anak bungsu, tapi ternyata aku salah. Cemoohan setiap har...