Kau hanya terobsesi bukan benar-benar mencinta.
***
Melan melamun di kamarnya. Ia benci dengan dirinya yang begitu lemah, mentalnya yang tak pernah berani untuk melawan. Melan mengembuskan napasnya perlahan, mencoba menenangkan kejadian tadi.
Ini semua salah dirinya sendiri karena tidak pernah mencoba untuk berusaha berenang. Dirinya yang penakut membuat orang gampang sekali memperlakukan sesuatu yang tidak layak kepadanya. Melan berpikir sejenak, ia mengetuk-ngetukan jari telunjuknya di pelipisnya. "Apa aku harus tegas buat diri aku sendiri?"
Melan menghela napas berat, ia lebih memilih untuk tidur. Jika memang Melan harus tegas, bagaimana caranya?
***
Melan terbangun dari tidurnya karena hujan tiba-tiba saja turun. Suara gemuruh membuatnya tidak bisa tertidur pulas. Melan menyeka peluhnya, ia tersenyum paksa.
Melan kembali mengingat masa kecilnya yang begitu bahagia bersama dengan Refina. Tidak lupa dengan Rian, Jeremy, Zian dan Maesah. Mereka saling menyayangi satu sama lain.
"Jadi Kak Mae ngga sepenuhnya enak, Melan juga tau, tapi Kak Mae lebih beruntung daripada Melan," lirih Melan. Ia selalu teringat dengan semua kalimat yang dilontarkan oleh Maesah kepada dirinya.
"Enak banget jadi kamu selalu dimanja."
Perkataan itu terdengar sangat nyaring di telinga Melan. Apakah Maesah terlalu cemburu kepadanya sampai tega membuat Melan selalu menderita?
"Aku anak bungsu, Kak Mae. Tapi yang dianggap anak bungsu sama Ayah itu Kak Mae." Melan berdiri, tidak mengindahkan perkataan Zian agar Melan beristirahat. Mungkin karena tidak terbiasa memakai selimut.
Melan memandangi hujan yang turun, gemericik air hujan membuatnya tersenyum manis. Cipratan air yang berasal dari celah jendela itu mengenai wajah Melan. "Hujan, titipkan salam buat ibu. Jangan khawatir, Melan bisa ngejaga diri sendiri."
***
Moza dan Fahri kini berada di kantor tempat bekerjanya Alfin. Mereka berhasil menyuap salah satu pegawai yang ada di sana. Dengan wajah sinis, mereka tertawa kecil akan ulah mereka yang akan disegerakan.
Alfin sudah tiba. Akan tetapi, karena ulah Moza dan Fahri ia di berikan surat pernyataan palsu tentang pekerjaannya. Alfin yang tidak mempunyai kesalahan apapun tentu tidak terima. "Apa ini, Pak? Saya tidak pernah berbuat kesalahan."
"Semua orang mempunyai kesalahan, apakah Anda berpikir kalau pekerjaan Anda begitu layak?" Laki-laki itu tersenyum remeh. "Pergi dari sini dan jangan pernah kembali!"
Alfin mengepalkan tangannya kuat. Ingin sekali memukul laki-laki yang ada di depannya, tetapi mau bagaimanapun dia tetap atasannya. "Baik, Pak. Saya permisi." Dengan uang pesangon yang sangat kecil, Alfin tentu saja merasa sangat kecewa.
"Sukses!" pekik Moza dan Fahri sembari berjabat tangan.
***
Alfin keluar dari kantor dengan langkah gontai. Suara dering telepon tiba-tiba terdengar sangat nyaring. Alfin mengambil ponselnya dari saku bajunya, ia membaca siapa sang penelepon, "Mae?"
Lagi-lagi Maesah meneleponnya tidak tepat pada waktunya. Pikiran Alfin sekarang sedang pusing. Namun, bagaimanapun juga Alfin tetap mengangkat panggilan tersebut. Ia berusaha keras agar terlihat baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi KAMU [Selesai]
Novela Juvenil>> SAD + ROMANCE << "Kalo itu keinginan Ayah ... Melan bakal turutin." Aku atau adikku yang dikorbankan? Melan-itu adalah panggilanku. Akan tetapi, tidak untuk keluargaku. Aku kira aku adalah anak bungsu, tapi ternyata aku salah. Cemoohan setiap har...