22. Here for you

786 104 80
                                        


—Arvin Sayudha Aiden

Manusia memiliki keterbatasan dalam membuat definisi termasuk pada makna kata yang umum dan mudah yang justru membuatnya sulit dipahami. Seperti gue yang nggak mengerti apa arti kata 'I want you' setelah Aldi mengatakannya. Hanya sebatas malam itukah dia menginginkan gue? Saat kami berdua mungkin tidak sedang berpikir dengan jernih. Karena pun hingga sekarang gue nggak juga tahu bagaimana dia ke gue dan apa jawaban dari pernyataan cinta gue kala lalu.

Aldi juga nggak menghubungi gue pagi setelahnya. Dia masih ingin lanjut tidur dan gue harus buru-buru pergi. Apa gue ada salah ya malam itu? Gue nggak tahu bagaimana kriterianya tetapi gue harap gue nggak bikin dia turn off. Yang bisa bikin gue dicoret dari daftar masa depannya (kalau pernah masuk list).

Gue menghela napas. Gue sebenarnya pengin bisa ngobrol banyak setelah apa yang terjadi pada kami. Membicarakan apapun mungkin juga soal hubungan kami. Karena jika ada satu statement point yang dapat diartikan sebagai relationship intimacy, bukankan apa yang kami lakukan sudah menandakan hal itu? Meskipun gue sendiri nggak bisa berharap lebih, karena toh dari pengalaman sebelumnya gue nggak memandang itu sebagai sebuah sebuah kepentingan. Sex is just a sex after all, and sex can be done without feeling.

Ouch!

Perih bro, hati gue.

"BANG ARVIN!" Ada teriakan serempak dari Bram dan Doni yang membuyarkan lamunan gue. Gue menoleh ke arah mereka yang sedang berada di pinggir kolam. Berada di taman terik tanpa peneduh. Sedikit jauh dari gue yang lagi duduk santai di teras belakang.

"Apaan sih?"

"Bantuin, Bang! Ngangkat meja!" Doni berdiri berkacak pinggang. Di sampingnya ada Bram yang tangannya sibuk menggoyangkan ujung kausnya untuk mengipasi diri. Cuaca di bulan Desember cukup terik kalau lagi nggak mendung begini.

Gue akhirnya berdiri dan berjalan mendekati mereka berdua. Tampak meja bundar besar yang barusan dikeluarkan dari gudang masih berdebu. Meja ini seperti punya resto-resto atau yang kemungkinan bisa ditemui di pantai dengan lubang kecil di tengah untuk menancapkan tenda payung. William punya aja ya beginian.

"Gue panggilin dari tadi nggak denger, ngelamunin apaan sih, Bang?"

Gue belum menjawab pertanyaan Bram karena mulai bantu mengangkat meja. Gila ya ini meja dari kayu apa sih kok berat banget. Diangkat laki-laki bertiga gini masih pelan aja pindahnya. Gue manut aba-aba mengangkatnya hingga spot yang ditunjuk Doni.

"Buat apaan sih, ini?"

"Ya buat naruh makanannya lah, Bang. Emang mau ditaruh di atas rumput?"

Ya enggak sih.

Kami akan mengadakan end year party malam ini. Di rumah William tentu saja karena di rumah gue nggak ada meja segede ini. William dan Zafran lagi keluar belanja bahan makanan, sedang gue, Doni, dan Bram bertugas buat nyiapin tempat dan peralatan.

Alat pemanggang sudah siap, meja sudah siap, kembang api juga udah, tinggal Doni yang masih sibuk masang lampu kerlap-kerlip. Nanti rencananya yang datang nggak cuma kita berlima aja tetapi juga temen-temen William, temen-temen Bram juga, temen-temen kuliah kita lah dulu yang masih in touch dan mau kemari. Makanya acara party-nya bakal lebih rame dari biasanya.

"Yess." Bram berdesis kecil duduk di samping gue sambil masih mengetikkan sesuatu di layar handphone-nya. Setelahnya ia jadi semringah sekali.

"Kenapa deh?" Gue tanya karena kita juga lagi nggak ngobrolin apa-apa.

"Frista jadi bisa dateng. Kan gue bilang kalau Icha juga bakal kesini, trus dia mau. Tumben banget kan dia mau diajak kumpul bareng. Demen gue kalau gini, mah." Senyumnya belum hilang dari wajahnya malah semakin melebar.

Lala AideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang