24. Together

852 97 76
                                    

—Arvin Sayudha Aiden


Bukan pemandangan asing meskipun sudah agak lama nggak gue rasakan, melihat gelas kumur gue berwarna biru bersebelahan dengan kembarannya yang berwarna pink di atas wastafel kamar mandi apartemen Aldi. Gue bahkan perlu dua menit memandangi barang—yang barangkali merupakan satu di antara hanya dua atau tiga barang—couple kami itu sambil menahan senyum. Menggelikan, sejak kapan seorang Asa peduli pada hal-hal trivial seperti ini?

Sejak sekarang. Atau barangkali kemarin. Atau mungkin sejak pertama kisah ini dimulai. Entah lah.

Kita sering lalai mencatat perubahan. Meski akhirnya bukan itu yang menjadi masalah. Yang penting kan, perubahannya.

Gue kembali ke kamar tidur setelah menyikat gigi dengan bersih dan mencuci muka, dan setelah mengeringkan sisa-sisa tetes yang tertinggal di kulit gue dengan handuk milik gue yang punya tempat di apartemen Aldi—yang bukan barang couple tetapi tetap bikin senang karena bersanding dengan handuk Aldi. Aldi sendiri sedang duduk di depan meja riasnya membelakangi pintu. Dari pantulan kaca di depan gadis itu gue bisa tahu kalau Aldi sedang melapiskan masker—sheet mask—ke wajahnya.

Gue sedikit banyak tahu walau nggak begitu hafal apa saja yang biasa orang gunakan untuk merawat kulit. Gue sendiri pakai skincare standar kayak face wash, pelembab, dan sunblock (penting). Dulu kakak gue yang ngenalin gue ke perawatan wajah karena jaman SMP gue cukup gosong karena suka main bola siang-siang di lapangan. Oh sama ada satu serum apa gitu juga pemberian kakak gue yang katanya bikin glowing. Supaya pesona gue makin berlipat dan bikin hati gadis berdebar meski gue nggak pakai make up. Nggak tahu sih, bener apa salah dan gimana juntrungannya. Produk itu bahkan gue lupa naruhnya di mana saking jarangnya gue pakai. Mungkin kalau Kakins—kakak gue—ada di sini gue bakal kena damprat mengingat dia beli serumnya mahal.

Gue jadi inget, dulu kayaknya waktu kecil sering ditemplokin macem-macem, entah masker beras, putih telur, yoghurt, buah pepaya, bahkan buah nanas, juga pernah nangkring di atas kulit wajah gue dalam 1001 usaha kakak gue mengembalikan gen putih yang aslinya dimiliki kulit gue, yang mengelam selama masa-masa remaja penuh permainan. Sedikit banyak gue nggak menyesal sih, karena toh kulit gue sekarang udah mendingan lagi meski sisa-sisa bintik hitam—sunspot—tetap sulit hilang. Kayaknya tuh, ngejar layang-layang putus tetap lebih seru daripada main game di ruang tertutup seharian.

"Al."

Aldi memutar badannya pelan mendengar panggilan gue. Ia tanpa ekspresi, atau memang tidak bisa berekspresi dengan lapisan yang menutupi mukanya kecuali mata, hidung, dan mulutnya itu. Hanya matanya yang berkedip-kedip seakan bertanya.

"Punya obat jerawat nggak?"

Aldi mengangguk ringan.

"Boleh minta dikit?"

Ia mengangguk lagi, kali ini lebih pelan.

Kalau dipikir, ada rentang waktu yang menjadi saksi gimana dulu gue dan dia berada di tempat ini tanpa sedikit pun menyentuh satu sama lain. Ada masa di mana yang menggantung di antara kami adalah rikuh dan perasaan tak menentu. Kami dulu tidak berbagi apa pun selain tempat memijak dan memejam. Sekarang kami berbagi lebih dari sekedar itu.

"Ada dua tahu, Sa." Tangan gue menahan poni gue supaya tidak jatuh ke depan, membuka dahi gue dengan lebar supaya Aldi bisa melihat dengan jelas, benjolan jarawat—yang seperti Aldi bilang jumlahnya ada dua—yang gue punya di dekat garis rambut gue. Kami berdua akhirnya duduk berhadapan di pinggiran tempat tidur. Tangannya sudah memindahkan sedikit isi tube ke ujung jari telunjuknya. Dengan pelan ia mengoleskan krim itu ke titik yang tepat.

Lala AideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang