18. Desirability

781 108 68
                                    

Arvin Sayudha Aiden

"Dari mana lagi semalem nggak pulang?" Adalah suara Mama yang mengagetkan gue sore itu ketika gue baru aja masuk rumah. Kirain Mama lagi ada arisan jadi nggak di rumah. Ternyata malah duduk manis di ruang tamu sambil membaca majalah kesehatan yang gue yakin baru datang.

Maka terungkaplah gue yang tampak mencurigakan masuk rumah dengan mengendap-ngendap begini. Heran juga sih sebenarnya mengapa setiap dari apartemen Aldi (atau rumahnya) gue selalu merasa perlu menyembunyikan kepulangan gue sehingga justru semakin kelihatan. Harusnya kan gue bersikap biasa aja ya?

"Erhmm.." Gue berdehem melonggarkan tenggorokan terlebih dahulu sebelum menjawab, "Dari... rumah temen, Ma. Kemarin malam mobil Asa mogok jadi nginep deh." Gue memberikan jawaban jujur tapi singkat.

"Sampai sore gini dan nggak ngabarin orang rumah?"

"Aaaah, itu... hape Asa mati dan mereka nggak punya charger yang cocok, Ma. Maaf ya." Itu juga jawaban yang jujur. Gue jadi lupa soal ponsel pintar itu ketika berada di rumah Aldi.

Gue kira Mama udah selesai ngobrol sama gue karena setelahnya hanya diam makanya gue jalan ke kamar tahunya beliau memanggil lagi. 

"Sa." Gue menoleh. Mama sudah meletakkan majalah di meja. Beliau melepas kacamata bacanya dan ekspresinya berubah serius menatap ke arah gue.

"Kenapa, Ma?"

"Kamu... beneran nggak ikut jaringan sindikat kan?"

"Hah? Enggak, Ma!" Gue tergelak karena kaget bisa-bisanya Mama punya pikiran begini. Terlebih ekspresi seriusnya tadi bikin terasa diinterogasi. Membuat ini menjadi scene yang menggelikan.

"Kalau gitu berarti kamu punya pacar kan?"

"Uhuk! Uhhuk huk!" Gue terbatuk ringan awalnya jadi sedikit heboh karena gue nggak menyangka bakal dapet pertanyaan itu sekarang.

"Bukan, Ma," jawab gue spontan di antara usaha meredakan tersedak yang tiba-tiba itu.

"Bukan berarti punya yang bukan pacar?"

Crap! Kenapa Mama gue pinter banget sih? Jadinya nggak tahu sekarang harus bersyukur apa sedih.

Mama malah berdiri mendekat yang membuat gue mundur dua langkah. Mengendus perlahan dan yang membuat gue jantungan lagi adalah ucapan setelahnya. "Bener kan, ini kaos perempuan itu. Wanginya perempuan tau, Sa. Kamu habis ngapain sama dia?" todongnya.

Haaaaaah. Sekarang gue nyesel nggak ganti baju dari awal. Tadinya mau ganti sebelum masuk rumah saja karena baju yang kemarin sudah beraorma apek habis kehujanan. Tetapi gue malah lupa dan masuk rumah masih mengenakan kaus berwarna pastel ungu milik Aldi ini.

"Nggak ngapa-ngapain, Ma, orang Asa semalem tidur di sofa ruang tamu. Udah ah, Asa mau mandi. Ini ada pempek kalau Mama mau."

Gue baru inget kalau di paper bag yang gue tenteng ada pempek juga selain baju kotor. Oleh-oleh dari Bu Mala karena sudah bantu bikin pempek banyak hari ini.

"Oooo, gebetan kamu itu pinter bikin pempek?"

Gue berdecak sambil menggeleng pelan. Tuh kan Mama sudah mulai menggoda dengan menyinggung Aldi sebagai gebetan. Dari mana sih Mama ngerti istilah begini?

"Auk ah." Gue memilih segera pergi setelah meletakkan bungkusan itu di meja. Tidak menghiraukan pertanyaan beruntun Mama seperti "Sa, dia anak mana? Sa, ini temen kantor kamu ya? Atau ketemu di pesta kemarin? Eh tapi kok cepet banget. Sa, dia mau nggak jadi mantu Mama?" yang terus terdengar hingga gue masuk kamar.

Lala AideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang