— Aldila Devan
Rasanya sakit. Luka di tangan ini terasa sakit. It wasn't a dream, then.
Aku membaringkan tubuhku telentang di atas kasur setelah mengusir Asa. Iya, setelah kebaikannya membawaku ke rumah sakit, menungguku tidur, dan mengganti perban lukaku, laki-laki itu kupaksa keluar dari rumahku. Aku benar sedang membutuhkan space untuk berpikir setelah sedikit drowsy akibat kurang tidurku berkurang. Aku butuh menyegarkan kepalaku meski ruangan ini rasanya terlalu pekat.
"Aldiiiiiiiiiiiii."
Suara Mela datang dari balik pintu. Menjadi kebiasaannya untuk memanggilku daripada memencet bel atau mengetuk pintu. Sudah jam pulang kantor ternyata.
"Aaaaaaall, lo kemana aja sih? Gue telpon nggak diangkat, tadi siang di kantor gue cariin nggak ada, trus sekarang tau-tau di sini. Padahal lo tadi pagi bilang mau nginep apart gue kan?"
Baru kubuka pintu, kalimat panjangnya sudah mencerocos keluar sebegitu lebar melebihi langkahnya masuk ke ruangan ini. Aku menghela napas. Menutup pintu sebelum menghadapnya.
"Panjang ceritanya," jawabku lelah.
"Terus lo-ASTAGA, Al tangan lo kenapa!?" Mela menarik lenganku untuk melihatnya lebih jelas.
"Tadi jatuh."
"Jatuh di mana?"
Aku tidak lantas menjawab. Melainkan melangkah ke arah kamar dan mendudukkan diri di tepi ranjang. Mela mengikutiku melakukannya.
"Jatuh di depan kantor. Trus abis itu ke rumah sakit. Terus abis itu gue bolos kerja."
"Yaaampuuunn. Kok bisa sih?" Ia masih mengamati perban di tangan kananku. "Ini lutut lo juga."
Aku turut melihat ke arah lutut dan baru menyadari bekas yang ditimbulkan saat ia mencium lantai. Merah dan sedikit membengkak. Kuraba sedikit dan rasanya nyeri. Mungkin besok lebamnya akan berubah warna menjadi biru.
"Kok lo nggak nelpon gue sih? Ngabarin gitu kek. Terus tadi lo sama siapa?"
"Nggak sempet, Mel." Jawaban pertanyaan pertama. Rasanya seharian ini terlalu banyak kejadian yang membuatku tidak berminat untuk berinteraksi lagi dengan orang lain. Rasanya terlalu lucu. Setelah telepon dari Andre tadi pagi, aku bahkan belum mengecek ponselku.
Sedang jawaban kedua, masih aku pikirkan. Apakah aku langsung bercerita kepada Mela atau akan kusimpan sendiri. Tapi Mela juga sudah, setidaknya, tahu Asa.
"Kok kamar lo bau parfum cowok sih, Al?" Mela sedikit mengendus sambil melihat sekeliling. Mungkin itu juga yang membuat aku susah berpikir dari tadi. Parfum laki-laki itu masih membayang di sekelilingku.
"Asa."
"Hmm?"
"Maksud gue Arvin."
"Arvin kenapa?"
"Tadi gue dianter Arvin," jawabku jujur.
Setelahnya aku ceritakan perihal pertemuanku di depan kantor saat aku terjatuh. Arvin yang kemudian mengenaliku dan mengantarkanku ke rumah sakit. Perihal ia yang juga menemaniku tidur siang dan mengganti perban lukaku. Kuceritakan itu dan juga fakta bahwa Arvin adalah orang yang pernah tidur denganku selama sebulan lebih, yang lebih dulu diketahuinya sebagai Asa. Aku selalu bercerita siapa-siapa dengan Mela.
Mela tahu. Mela tahu soal kebutuhanku akan teman tidur. Selama ini ia juga telah berusaha menemaniku meski seringkali aku tidak merasa nyaman merepotkannya begitu. Dan karena sejujurnya mimpi burukku tidak begitu berkurang jika dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lala Aide
Ficción GeneralKatanya, kita selalu tahu jika kita bertemu dengan orang yang tepat. Seperti tidak lagi ada syarat perlu dipenuhi karena kita hanya tahu, dia untuk kita. *** R 17+ | Bahasa Indonesia © ami 2020 Little AU Asaldi, a sosmed au on highlight intsagram sk...