13. Perplexity

857 108 56
                                    

An.

just a precaution, i feel this is a bit scattered and boring when i wrote this but maybe it's still a 3.2k words worth update, so enjoy and let me know your thought ^^

Aldila Devan

Aku menutup pintu yang berada di belakangku. Namun ketimbang melangkah lebih lanjut untuk masuk ke dalam apartemenku, aku justru diam berdiri mematung. Kepalaku terasa memberatkan dengan pikiran-pikiran yang berkelebat sejak aku keluar dari mobil Asa.

Dadaku sedikit terasa sesak. Aku menyandar pada daun pintu berusaha mengeluarkan kata-katanya dari pikiranku. Berusaha membuatnya berhenti menggema dalam kepalaku. Meski pada akhirnya, makin dipaksa aku justru makin mengingatnya.

Mungkin malam ini aku menyesali satu hal. Bukan ucapanku padanya, bukan sikapku yang membuat bertengkar dan memilih turun dari mobilnya, tetapi bahwa seharusnya ini tidak terjadi jika aku tidak mengenalnya, jika aku tidak bersinggungan dengannya sedari awal. Mungkin aku berharap aku kembali pada malam hari di pesta itu dan mengulang semuanya agar aku tidak perlu bertemu dengannya. Mungkin Asa tidak perlu terbebani karena memiliki teman yang aneh seperti aku.

Vicious words hurt like a bullet, but uncontrolled thoughts can actually hurt like a sharp tip of a plunging dagger. Ada perasaan asing yang menyayat. Hatiku perih menyadari bahwa fakta tentang diriku tidak akan terhapus sebesar apapun usahaku menguburnya.

Aku tersenyum pahit. Mungkin aku beruntung sudah tidak memiliki keluarga. Bayangkan bagaimana rasanya memiliki anak gadis yang mengundang laki-laki asing untuk berada di tempat tidurnya. Aneh sekali bukan?

Jika aku bukan orang yang menjudge orang lain karena aktivitas seksualnya, tetapi tidak mesti setiap orang melakukan itu. We live in society where even sex-ed is considered as encouraging young to have pre-marital sex. Padahal, ditinjau dari perilaku dan kebutuhan masyarakat sekarang, edukasi kepada hal itu memang penting. Tidak semua orang kebagian naluri untuk belajar sendiri dengan benar dan tepat. But yeah again, we live in socio entitled living. Pelekatan nilai oleh apa yang terlihat dan diasumsikan. Aku bahkan mulai menebak-nebak apa asumsi Asa kepadaku. Apakah aku juga dilihatnya sebagai seseorang yang.. yang.... aku tidak tahu. 

Sebelum aku semakin merasa sesak dan berdarah-darah oleh pikiranku sendiri, aku menegakkan diri dan dengan langkah gontai berjalan menuju kamar. Kini di dekat pintu aku berhenti. Memandang tempat tidur kosong yang masih rapi. Yang kemudian berkelebat ingatan laki-laki asing yang telah tidur di atasnya, di sampingku dalam bayangan samar. Memancing perasaan aneh. Ada Asa di sana. Aku tidak bisa. To feel this frailty when his presence lingers on my bed

Sementara malam ini aku menjadi tidak yakin bisa tidur di atas kasurku, maka aku menyegerakan diri untuk mandi dan berganti baju. Memilih untuk keluar meski sudah jam satu malam. Memanggil taksi untuk meninggalkan apartemenku.

"Bu." Aku mengetuk pintu kamarnya pelan hanya untuk membangunkannya, bukan untuk mengagetkan. Tadi saat memasuki rumah ini tidak tanda ibu terbangun meski gemerincing kunciku sedikit terdengar keras. Mungkin beliau sudah terlelap dalam.

"Nak Lala?" sahutnya terdengar dari dalam.

"Iya, Bu."

Pintu kamarnya terbuka dan aku melihat perempuan paruh baya itu terlihat terkejut akan kedatanganku di antara wajah kantuknya. Tidak pernah aku datang selarut ini. Pun biasanya aku memberitahunya dulu sebelum pulang kemari. Rumah yang menempel dengan tanah, bukan di atas atap yg dihuni orang lain.

"Nak Lala baru datang?" suaranya serak. Ia menengok jam dinding yang menunjukkan waktu dini hari sementara tangannya mengelus kedua lenganku memastikan.

Lala AideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang