21. Maze

859 100 59
                                    


—Aldila Devan

Malam itu aku tidak bermimpi soal gagak hitam. Atau kubangan. Atau tenggelam. Atau di hutan. Mimpi-mimpi buruk yang biasanya tidak sekali pun datang. Justru kali ini mimpiku tercipta lain.

Aku berada di sebuah kebun jeruk dengan daun-daun berwarna hijau tua sebagian kecoklatan mengering. Hanya sedikit daun berwarna hijau muda berada di pucuk-pucuknya. Kebun jeruk ini memiliki bangku kayu di bawah salah satu pohon rindang yang aku duduk di atasnya. Lalu aku mencium bau kayu pinus meski aku tidak melihat pohon pinus—hanya ada pohon jeruk di sini. Mungkin itulah alasan ini adalah mimpi.

Lalu seseorang datang. Seseorang yang tangannya kasar meski sisinya yang lain lembut sekali—cara menyentuhkannya pada pundakku. Ia mengenakan kaus putih yang berbau campuran detergent dan matahari. Ia merengkuhku dan aku mengendus. Kaus itu terasa hangat di pipiku dan bau matahari itu justru menenangkanku. Aku tidak sempat menengok ke atas melihat siapa sosoknya.

Karena aku terbangun. Aku mengerjapkan kelopak mata dan mendapati seorang figure berada di depanku. Aku masih belum melihat dengan jelas. Atau mungkin bayangan mimpi dan kenyataan masih menyaru.

Aku mengumpulkan nyawa yang tercerai berai ke langit sejak malam kemarin. Hingga kemudian pada detik kesekian aku bisa mengetahuinya. Ia adalah Asa. Seseorang yang kini di depan mataku.

Asa sudah bangun lebih dulu, entah sejak kapan. Ia memiringkan badannya menghadap ke arahku sambil sebelah tangannya menyangga kepala. Ia sudah mengenakan kaus putih seperti bagaimana ia biasanya tidur di sini.

Ia hanya diam memandangi wajahku. Aku yang masih kikuk memilih melempar pandangan pada jam dinding untuk menghindari tatapannya. Ini sudah pukul 7, meski pukul 7 pada hari minggu menjadi terlalu pagi untukku bangun. 

Aku menoleh lagi ke Asa mendengar dengus rendahnya dan benar ada senyum yang menghias di bibirnya yang tipis itu. Mengundang ingatan soal bagaimana bibir itu semalam membuatku gila bukan kepalang. Bagaimana bibirnya hangat itu berada di atas bibir dan kulitku. Bagaimana untuk sesaat aku lupa soal masa laluku, masa lalunya. Karena yang ada hanya aku dengannya saat itu juga.

Aku menelan ludah. So, it was... happening? Not a dream?

Perlahan memori semalam menyergapku. Kurasa memang aku sudah sinting. Di antara basah ciuman kami, dan dekat tubuh kami saling memeluk, aku memintanya dengan jelas.

"Sa, I want you."

Perkataan singkat yang membuat kami menoreh sejarah baru dalam hubungan ini.

"Good morning," sapanya ringan.

Rasanya ini deja vu. Mengingatkanku pada saat-saat kami bangun ketika masih menjadi orang asing dalam satu ranjang. Ia akan menyapaku dengan suara serak begini.

Tangannya terulur merapikan rambut yang helainya menutupi wajahku. Aku merinding mengingat rasa jari jari itu menggenggamku semalam. Jari-jari yang kasar permukaannya, tetapi lembut dan hati-hati dalam menyentuh.

"Are you okay?" tanyanya lagi. Kali ini membuat batas perbedaan. Jika dulu kami adalah dua orang asing meski berada di ranjang yang sama, maka pagi ini kami berada di atas ranjang tetapi dalam kondisi tangan kami bekas saling memeluk.

Aku tidak membalas itu karena aku sendiri tidak yakin seperti apa kabarku pagi ini. It wasn't the most pleasant, yet not so painful too.  Aku makin mengeratkan selimut yang menutupi tubuhku. 

"Kamu masih ngantuk ya, Al?" Aku mengangguk pelan. Aku masih ingin tidur lagi. Pertama, ingin lari dari suasana awkward begini setelah pernyataannya semalam. Kedua, sebagian setanku masih ingin mengenang momen hilang akalku semalam. Ingin menikmati saat-saat aku menjadi lupa soal kekhawatiranku lebih lama.

Lala AideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang