—Aldila Devan
Aku sudah hampir terlelap. Hampir kataku karena sejujurnya sedari tadi aku sibuk menenangkan diri. Meredakan jantungku yang malam itu berdebar sedikit aneh. Padahal sejujurnya obat yang diberikan tadi memberi efek kantuk namun aku memaksa terjaga yang pada akhirnya membuat pikiranku sedikit berkabut. Hilang timbul antara sadar atau tidak.
Aku membenci sakit. Orang bilang penyakit yang tidak disuka adalah sakit gigi, bagiku termasuk demam yang terasa di sekujur tubuh. Aku benci terperangkap dalam suhu tinggi dan perasaan lemas seperti ini. Aku benci rasa tidak nyaman di pangkal hidung gara-gara radang ini dan benci efek-efek yang ditimbulkan: susah napas, sakit saat menelan, tidak bersuara ketika berbicara. Dan yang aku benci juga adalah kesempatanku mendapat mimpi buruk jauh berlipat lebih besar ketika sakit. Alhasil untuk itu aku menyuruhnya tidur di kasurku.
Iya, -nya yang dimaksud adalah dia. Asa yang tadi sore tiba-tiba datang ke apartemenku untuk menjenguk katanya. Ia yang kemudian memaksaku ke rumah sakit dan membelikan makan malam. Ia juga yang kemudian menawarkan diri menginap untuk menemaniku.
Ia menawarkan diri untuk menginap dan aku menawarkan kepadanya untuk tidur di kasurku (lagi setelah sekian lama). Baiklah, yakin ini hanyalah karena kesopanan. Aku tidak mungkin kan membiarkan pria yang tingginya 175 lebih ini untuk tidur di sofaku yang kecil? Lehernya akan sakit dan kakinya akan menggantung. Selain memang ada tujuan khususku, biar aku tidak mimpi buruk, tetapi benar aku lebih menekankan kesopanan pada tamuku. Ini juga bukan karena kangen, percayalah.
Lihat yang kulakukan pada diriku. Memberikan pembenaran sendiri atas konflik batin yang muncul.
Aku menghela napas panjang dan aroma tubuhnya, keringatnya yang mengering dan juga wangi parfum yang sudah menipis, menyeruak memasuki hidungku. Meski indra penciumanku tidak setajam saat sehat tetapi aku masih bisa mengendus aroma yang menempel pada kaus yang sudah ia kenakan sejak pagi tadi. Ya bagaimana. Aku tidak punya baju ganti yang pas untuknya jadi ia malam ini tidur mengenakan selapis kaus putih polos yang biasa ia gunakan sebagai dalaman.
Aku menggigit bibir atasku. Rasanya bekas jemarinya tadi masih terasa. Kasar dan halus. Bukan, kasar dan lembut. Telapak tangannya tidak terlalu halus memang, tetapi cara menyentuhnya. Aku tidak tahu bagaimana mendefinisikan rasanya. Mengapa manusia suka aneh ingin menyimpan rasa-rasa yang kadang terlalu tipis dan singkat. Aku jadi membayangkan bagaimana bila bib- ugh stop it, Aldila. Get your sense.
Aku secara tidak sadar bergerak gelisah yang kemudian memunculkan suara. Sebuah suara berat dan serak dari Asa.
"Al? Lo belum tidur?" Ia bergerak mengangkat kepalanya untuk menengok ke arahku. Matanya mengeryip setengah terbuka menandakan ia benar baru terbangun.
"Hmm." Hanya kujawab itu.
"Nggak nyaman ya? Masih sakit perutnya? Apa demamnya belum turun?"
Aku hanya menggeleng pelan. Aku rasa diareku sudah berhenti meski perutku belum benar-benar terasa sembuh. Namun memang suhu tubuhku terasa belum mau kembali normal. Tanpa aba-aba telapak tangannya menyentuh dahiku yang memang masih hangat. Dan itu lagi-lagi membuatku terdiam seketika.
"Masih panas, Al. Mau dikompres aja? Gue buatin ya." Ia mendudukkan dirinya hendak beranjak dari kasur yang buru-buru kucegah.
"Nggak.. ehemm, nggak usah, Sa." Aku melegakan tenggorokan supaya bisa berkata lebih jelas dan jadi ikutan duduk.
Asa lantas hanya memandangku dengan tatapan prihatin seolah ingin penyakitku beralih kepadanya? Seperti andaikata ia bisa, ingin melenyapkan penyakitku seketika. Entahlah. Mungkin pikiranku sedang berandai-andai menyenangkanku saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lala Aide
General FictionKatanya, kita selalu tahu jika kita bertemu dengan orang yang tepat. Seperti tidak lagi ada syarat perlu dipenuhi karena kita hanya tahu, dia untuk kita. *** R 17+ | Bahasa Indonesia © ami 2020 Little AU Asaldi, a sosmed au on highlight intsagram sk...