23. New year new me?

848 100 71
                                        

—Aldila Devan

"Hmm? Ya enggak ada Doni-nya, Ma, orang Asa nggak di rumah William. Mama jangan tanya di telpon, besok aja Asa cerita sama sekalian ada yang pengen Asa tanyain juga. Iya-iya. Mama jam segini kok belum tidur, sih?"

Samar-samar semakin jelas terdengar monolog suara Asa memasuki pendengaranku. Membangunkanku dari lelap. Kelopak mataku membuka lebar untuk menangkap cahaya agar bisa membeda bentuk rupa dalam ruang ini.

Ada Asa yang berdiri di dekat jendela. Ia mengenakan kaus berlengan pendek berwarna putih. Sekelebat ingatanku yang terbentuk menyatakan bukan itu warna bajunya tadi saat kemari. Tangan kanannya menempelkan benda persegi, ponselnya, ke telinga menandakan ia tidak sedang bermonolog, melainkan bercakap dengan orang di seberang sambungan.

"Emangnya kembang api dari balkon rumah kita kelihatan?"

...

"Ya kan Asa nggak tahu."

...

"Kalau di Amerika kan masih besok, Ma. Lebih cepat sini waktunya."

...

"Kakins tadi cerita jalan-jalan kemana?"

Percakapan itu masih berjalan tanpa aku tahu apa yang sedang diperbincangkan karena aku hanya mendengar suara Asa saja. Aku pelan menggerakkan tubuhku untuk merenggang supaya lepas dari kekakuan diam berjam-jam.

Saat itu kusadari, ada jaket abu-abu yang menabir di atas selimutku. Seperti sengaja diletakkan di sana. Bukan untuk membuatku hangat, karena toh badanku sudah hangat, melainkan untuk tujuan lain. Barangkali itu sebabnya aku bermimpi lagi soal kebun jeruk. Meski mimpinya samar karena kebun jeruknya berada di tengah pantai. Mimpi kan memang tidak masuk akal.

"Papa tuh, Ma kalau libur semester kosongin jadwal juga. Biar bisa main bareng ke sana."

...

"Hmmmm."

Asa bergerak. Ia tahu-tahu menoleh hingga melihatku yang duduk bengong di atas kasur memandanginya. Dalam remang kulihat matanya melebar saat bertatapan dengan mataku.

"Eh, Ma. Udah dulu ya."

Ia terburu menutup sambungan telepon padahal aku yakin mamanya belum genap memproses pamitnya. Asa lalu berjalan mendekat. Dan entah untuk sebab apa aku merasa jantungku berdebar.

"Aku berisik ya makanya kamu bangun?" Satu tangannya terangkat menggaruk rambut bagian belakang.

Rasanya canggung. Jelas saja. Setelah apa yang terjadi sore tadi di pemakaman. Rasanya kami seperti orang yang baru berkenalan.

Aku menggeleng. "Aku mau minum," akuku.

Tenggorokanku memang rasanya kering. Aku belum menenggak apapun sejak pergi dari rumah ini di siang hari. Pergi ke pemakaman tempat orang mati didesakkan di bawah kaki seorang diri. Berniat melukis nisan-nisan dengan pahatan nama yang entah tersisa seberapa di ingatan manusia yang hidup. Meskipun pada akhirnya aku hanya diam karena tidak mampu. Tidak cukup lampu di kepalaku.

"Al?" Asa mengembalikan diriku yang sempat melamun. Ia menyodorkan segelas air putih. Aku menerimanya dengan kedua tangan yang gemetar. Energiku sudah terkuras. Tangannya tidak melepaskan gelasnya hingga aku menenggak habis cairan bening itu.

"Makan mau ya, Al? Aku panasin dulu buburnya." Aku belum menjawab tetapi Asa sudah berjalan keluar dari kamar ini. Aku sudah tidak kaget. Sudah sering begitu laki-laki itu.

Sejujurnya aku tidak terlalu ingin makan. Rasanya aku hanya ingin tidur saja. Tidur terus sampai lupa soal dunia, tetapi aku juga lemas. Itu artinya aku butuh mengasup energi supaya tetap hidup. Aku menghela napas. Repot sekali ya jadi manusia. Kadang aku bercita-cita jadi tumbuhan saja hanya cukup berjemur sudah kenyang.

Lala AideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang