3. Fresh chapter

1.8K 182 17
                                        

Aldila Devan

Aku masih menganggapnya orang asing karena yang kuketahui tentangnya hanya beberapa. Namanya yang hanya satu kata—Asa—dan kantornya yang aku juga masih tak mengetahui apa bidang pekerjaan, dan apalagi? Tidak ada. Tidak kuketahui seluk beluk tentangnya lebih lanjut karena yang kami bicarakan di pesta itu malah soal krisis lingkungan, definisi sukses millenial, lalu kami beralih membicarakan makanan yang tersedia di sana dan mana yang enak.

Pertemuan keduaku dengannya yang terjadi tak lama kemudian juga tak menjelaskan profil pribadi kami. Aku waktu itu sedang mencari keramaian di pojok restoran fast food menjumpai ia yang memburu makanan. Kami membicarakan perihal mengapa manusia merasakan lapar di tengah malam, dan bagaimana itu menjadi ide bisnis: tercetusnya konsep rumah makan 24 jam, dan hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi. Selebihnya, adalah tentangku.

Apa kalian pernah mengalami, rasa yang nyaman ketika membagi sedikit tentang gelapnya hidupmu pada seseorang yang benar-benar asing? Mungkin itu alasan diriku bercerita, atau lantaran aku sudah sangat mengantuk.

"Lo kelihatan capek banget, Al."

"Sebenernya, Sa, gue emang ngantuk banget," ujarku diselingi tarikan napas yang panjang.

"Terus kenapa masih di sini. Oh, sorry-sorry karena gue ya ngajak lo ngobrol. Pulang yuk, kalau gitu. Gue anter pulang ya? Gue bawa mobil kok."

Ia buru-buru merapikan barangnya dan bahkan berdiri ketika gue menggeleng pelan.

"Sa."

"Hmm?"

"Lo kalau mau pulang, pulang aja tapi gue di sini."

"Lo nungguin orang?" Tanyanya bingung.

Matanya yang bulat itu menatapku lurus. Aku bahkan bisa lebih jelas melihat panjangnya bulu mata yang ia punya dengan penerangan yang lebih jelas dibanding kala di pesta. Ia mengerjap, masih menunggu jawabanku ketika perlahan ia duduk kembali.

Aku menoleh ke luar jendela. Di luar sana jalanan memang sudah mulai sepi. Masih ada kendaraan yang lewat tiap beberapa menit tetapi jumlahnya bisa dihitung jari. Malam memang tempat sebagian orang--sebagian besarnya malah--untuk pulang dan beristirahat di rumah. Namun kadang itu tidak berlaku untukku. Karena malamku, sering-sering menakutkan. Bukan oleh gangguan makhluk berwujud atau pun tidak berwujud—yang orang lain masih bisa lihat. Tapi oleh perkara yang ada di kepalaku sendiri.

"Gue nggak nungguin orang, gue cuma lagi nunggu pagi."

"Like literally?"

Aku tersenyum kecil. "Yes, literally."

"Why?"

Aku menghela napasku panjang."Because I can't quitely sleep alone."

Untuk alasan itu, setidaknya, aku banyak menghabiskan malam merecoki dua temanku, untuk menginap di hunian mereka atau mengajak mereka menginap di apartemenku. Dan keduanya sedang tidak bisa malam ini. Seorang sedang menjaga ibunya yang sakit, dan seorang lagi lebih sering mendapat shift malam dari tempat kerjanya--rumah sakit.

Dulu, sebelum ini aku pernah membuka sharing apartemen dengan orang lain. Menyediakan sewa yang lebih murah untuk orang lain tinggal. Meski agaknya, sering kali mereka akan pergi tak lama kemudian, lantaran cukup terganggu apabila mendengarku menjerit malam-malam. Aku merasa kasihan hingga tak lagi kulakukan cara itu.

Aku hanya pulang menemui ibuku hanya pada saat weekend. Supaya nggak membuatnya khawatir, jika ia tahu bagaimana malam-malamku dilalui. Ibuku sudah mengorbankan banyak hal untuk merawatku seorang diri.

Lala AideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang