9. Sunshine

1K 105 28
                                    

Aldila Devan

Aku senang berada di sini. Ini adalah bagian dari Kota Jakarta yang kugemari. Bangunan galeri berisi seni. Tempat dimana orang memamerkan penuangan keindahan yang ada di kepalanya ke dalam warna dan bentuk yang bisa dinikmati.

Aku suka seni. Ayahku seorang seniman. Mungkin sedikit pemahamanku soal seni turun darinya. Meski tidak pernah ia secara gamblang mengajarkan cara mencintai seni dengan dikte a, b, dan c, ayahku hanya sering mengajakku berkeliling dari satu museum ke museum, dari satu pameran ke pameran lain sejak aku kecil. Dulu kami suka naik metromini di sore hari, mengunjungi bangunan yang bentuknya belum sebagus sekarang. Berjalan berkeliling ruangan melihat apa saja yang dipajang. Ayahku tidak bicara banyak menjelaskan apa-apa di depanku. Meninggalkanku sendiri dengan persepsiku. Sepulangnya kadang kala ia akan menggendongku berjalan ke rumah karena kakiku sudah kelelahan.

Aku mengerjapkan mataku menghalau sesuatu turun dari sana. Menghela napas sedikit panjang. Aku sedang tidak ingin mengingatnya.

Ah, iya. Asa. Aku lupa kali ini aku kemari bersamanya. Sejak tadi sepertinya ia berkeliling juga? Entahlah. Aku terlalu sibuk menikmati karya jadi lupa dengan orang lain. Temanku yang itu. Seharusnya aku mengajaknya bicara karena itulah hal yang sopan ketika kau mengajak seseorang tetapi aku hanya diam dari tadi.

"Ngebosenin ya?"

Ups. Terlalu cepat. Aku melihat ia menguap kemudian gelagapan menutup mulut karena kutanya.

"Hah? Enggak. Ini karena gue semalem kelamaan main game aja."

Alisku terangkat. Sedikit heran. Rupanya kalau malam Asa suka main game? Pertanyaan itu hanya mengawang di atas kepalaku, tidak terlontarkan.

Aku mengajaknya makan segera. Tidak ingin menyiksanya lama di sini. Kendatipun empat yang kupilih kemudian juga hanya sebuah warung sederhana. Ada alasannya. Setidaknya di sini masih bersih dan tidak membuatnya jijik.

Kami mengobrol lagi. Berbicara, bertukar kata, bercerita satu hal dan lainnya. Aku merasa nyaman dan nyambung saja karena memang Asa bukan orang yang sulit didekati — aku yang sulit. Mungkin ini jadi obrolan panjang pertama setelah kami berpisah dulu. Hingga tiba di sebuah pertanyaannya yang sederhana.

Aku berdesah pelan. Pertanyaan itu memang sederhana — apakah ia boleh mengenalku — tetapi meninggalkan bekas di kepalaku. Rasanya suaranya masih mengiang di telingaku hingga hari ini.

Aku bergerak menelungkupkan tubuhku ke kasur. Menimbun wajahku dalam bantalan. Pertanyaan itu menggangguku. Pertama, perihal kesopanan. Aku tidak menyangka Asa akan begitu sopan bertanya hal sejenis consent ini. Boleh atau tidak. Ia ingin mengetahui diriku dengan izin. Kedua, ya tentu soal niatnya. Aku tidak tahu apa yang menarik dari diriku hingga ia ingin mengenalku. Maksudku ya, pikiranku jadi penuh prediksi kemana ini akan mengarah — hal yang mungkin bisa terjadi atau tidak terjadi. Tuh kan, dia menyebabkanku overthinking.

Aku sedang menunggu Ratna, sahabatku yang lain. Aku menunggunya meluangkan waktu supaya bisa berbicara denganku tentang masalah ini. Aku butuh dia.

Mungkin ini terdengar sedikit pilih kasih, tetapi terkadang ada hal-hal yang ingin kau ceritakan kepada sahabatmu yang satu tetapi tidak ke salah satu yang lain. Padahal itu bukan pilih kasih. Aku menyayangi Mela dan masih berbagi hal-hal yang menyenangkan —dan yang tidak— dengannya tetapi lebih pada hal yang berkaitan dengan lingkungan pekerjaan. Dengan Ratna, sahabatku sedari kecil itu, aku lebih merasa membagikan ribuan sampah emosiku. Termasuk satu ini.

"Buset, La! Lo tuh manusia ya perlu mandi bukan ikan air tawar hey!" serunya. Padahal baru saja kubukakan pintu untuknya ia sudah berceloteh absurd. Ikan kan justru mandi tiap waktu.

Lala AideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang