26a. Wish

790 99 61
                                    

—Arvin Sayudha Aiden

Gue meneguk sisa kopi gue sedikit terburu setelah alarm gue berbunyi. Kurang 10 menit sebelum jam sembilan. Tangan gue menghentikan notifikasi di layar dan juga game yang sedang berjalan di handphone gue. Gue berdiri membawa cangkir tanpa isi itu ke pantry untuk gue cuci, kemudian menyimpannya di rak sebelum gue kembali ke meja. Setelah mengambil tas yang sudah rapi sejak berjam-jam yang lalu, gue pamit kepada pegawai yang masih ada di lantai ini, yang banyaknya hanya lima, dan bukan anggota tim proyek yang sama dengan gue. Ya, sebenarnya gue nggak ada lemburan malam ini.

Gue masuk ke dalam lift hanya untuk turun satu lantai. Menuju lantai 16. Aldi tadi bilang lewat pesan kalau dia akan lembur sampai jam 9 hari ini, untuk menyelesaikan tahap akhir dari proyek yang ia ampu.

Gue melihatnya masih berada duduk di kursinya, di depan layar monitornya yang menyala meski hanya menampilkan wallpaper desktop, sebuah lukisan langit biru dengan awan-awan putih dan keunguan. Gue asumsikan pekerjaannya sudah selesai karena tidak ada aplikasi lain yang terbuka. Hanya saja, gadis itu masih terlihat diam. Sepertinya sedang melamun.

Maka gue memperlambat langkah kaki agar bersuara seminimal mungkin dalam mendekatinya. Berhenti dan berdiri pada jarak selangkah di belakangnya. Kemudian ikut memandang ke depan. Gue menghela napas. Andai saja ada proyektor yang bisa memproyeksikan isi kepala manusia, maka sekarang mungkin gue bisa ikut menikmati apa yang sedang dibayangkannya.

"Loh, Asa?" Entah kapan mulanya ia menoleh, mendongak menatap gue dengan pandangan heran.

"Hai, Al. Udah kelar?" Gue bertanya santai.

Ia hanya mengangguk kecil.

"Mau pulang bareng?"

Aldi melirik dua meja lain sekilas. Gue ikut menoleh ke belakang sejenak, melihat siapa yang masih ada di lantai ini. Mungkin Aldi sedikit malu dengan gue yang tiba-tiba mendatanginya secara terang-terangan seperti ini. Menambah interaksi kami sebagai isi daftar 'hot news' penarik perhatian. Gue menghela napas. Berusaha membiarkan spekulasi orang lain menjadi masalah milik orang lain, bukan masalah kami. Lagian kan, we're indeed a thing, aren't we?

Sebenarnya dulu gue pun merasa risi dengan pandangan beberapa orang kepada kami, terutama sebab di antara beberapa orang yang sudah secara terbuka menggoda gue, gue malah memilih Aldi yang biasanya hanya diam di mejanya tanpa berusaha caper. Seakan itu hal yang tidak jelas asalnya. Yah, mereka kan hanya tidak tahu apa yang terjadi di luar itu.

Gue akhirnya nggak terlalu ambil pusing soal gosip, membiarkan desas-desus ringan soal kami berhembus dari mulut ke mulut di kantor ini. Terserah mereka mau mengatakan apa, selama nggak ada yang mengganggu Aldi. Toh kami juga nggak melakukan kejahatan yang melanggar hukum ataupun aturan kantor.

Aldi akhirnya mengiyakan dengan suara lirih. Gue memang belum mengajaknya tadi. Sejak pagi gue nggak bertemu dengannya, dia nggak naik ke pantry atas. Gue mengajaknya langsung karena sengaja untuk meminimalkan penolakan.

Aldi sudah pernah cerita soal soal Dokter Ratna yang mau pergi ke Jepang, karenanya ia lebih sering menginap di sana. Meninggalkan gue. Ya, bukan berarti gue kangen tidur sama dia juga sih......

Okay-okay, gue ralat, let me admit, gue kangen tidur sama dia. Tetapi itu karena interaksi gue sama Aldi jadi berkurang banyak. Dia juga makin jarang mau pulang bareng gue, menolak karena alasan kosan Dokter Ratna yang lebih jauh dan berlawanan arah dengan rumah gue. Padahal kan dia mau minta antar sampai ujung kulon juga gue jabanin.

"Tunggu bentar ya." Aldi sudah mengeklik tombol shut down di layar monitor. Tetapi ia masih belum siap pulang, lebih tepatnya belum siap pulang bareng gue. Dia berlari kecil menuju toilet. Tak lama, hanya 3 menit. Ia kembali dengan lebih rapi. Wajah yang lebih segar dan warna di bibirnya yang penuh lagi. Tidak berlebihan, hanya supaya menghilangkan kekusaman dan menutupi sisa-sisa lelah yang tampak tipis di wajahnya.

Lala AideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang