—Arvin Sayudha Aiden
Plakk!
"Ahh!" Hal yang pertama gue rasakan setelah beberapa saat memasuki rumah adalah sakit dan panas dari pukulan tangan di punggung gue. Dan yang memukulkan tangannya adalah wanita yang entah dari mana berdiri di belakang gue.
Gue memutar tubuh. "Mamah! Kenapa sih kok pukul-pukul. Aah!"
Ia memukul sekali lagi sebelum berbicara. "Kamu nih ya, Sa, Pulang subuh-subuh gini, dari mana aja?!" ujarnya dengan nada sedikit menghentak seperti penyidik. Koreksi, sebenernya gue nggak begitu ngerti apakah penyidik bertanya dengan nada begini, tapi kalau dilihat dari drama korea yang biasa mama tonton malem-malem, kayaknya sih iya.
"Pakai jalan ngendap-ngendap kaya maling gitu. Takut ketahuan ya pulang pagi?" Gue mengernyit. "Mama tuh udah curiga ya, Sa, hidup kamu tuh nggak bener!" Nah kan, sekarang ganti scene dari drama persidangan ke drama keluarga dimana orangtua baru saja mengetahui rahasia terbesar anaknya kalau ternyata selama ini ia adalah— wait ini bukan sinetron atau drama korea jadi mending kita fokus saja ke tkp.
"Astaga, Mama. Enggak, Ma. Aku tuh abis nemenin temen sakit." Otak gue nggak sempet membuat chart alasan jadi gue jawab jujur.
"Siapa temen kamu?"
"Aldi."
"Hmmm." Mama memanggut-manggut. Ada untungnya nama Aldi agak mirip-mirip nama cowok jadi mama nggak curiga lebih jauh. "Terus kenapa jalannya ngendap-ngendap gitu?"
Gue menggaruk kepala. "Ya biar nggak brisik." Kenyataannya memang sebenernya gue nggak pengen ketahuan mama atau siapapun pagi-pagi begini. Gue bahkan memarkir mobil di depan gerbang dan masuk pelan-pelan eh tahunya tetap ketahuan.
"Lain kali, whatsap mama lah kalau mau nginep-nginep. Kirain kamu ilang tau, Sa." Mama berkata ringan seakan bercanda.
"Iyaaa. Semalam lupa, Ma. Maaf ya." Gue mengelus kedua lengan beliau. Kemudian mendekatkan wajah untuk memberikan kecupan ringan di salah satu pipinya.
"Hiih, apa sih pagi-pagi udah cium-cium." Mama merenggangkan tangannya melepas pegangan tangan gue dan berlalu. Berpura-pura geli padahal gue tahu, beliau nggak menghapus bekas kecupan gue.
Ada beberapa hal yang gue pelajari setelah tinggal di rumah. Satu, suasana rumah ini yang sedikit berbeda sejak gue memutuskan pindah hunian, kurang lebih enam tahun yang lalu. Karena walau hanya selisih beberapa tahun tentu saja orang tua gue semakin tua sekarang. Itu bisa mengarah ke banyak hal. Menopause membuat emosi mama kadang-kadang mirip gadis yang lagi pms.
Mama sering menelpon kalau gue ada lembur. Bertanya jam berapa gue akan pulang. Awalnya gue kira, ini karena citra gue di mata mama masih seperti jaman sekolah yang sedikit begajulan dan playboy. Apalagi beliau yang dulu sampai ngtot ingin pindah juga ke apartemen gue setelah pensiun, lebih sedikit berpikir untuk menemani papa dibanding gue.
Namun makin lama gue sadari, ini karena beliau care dan sayang ke gue. Jakarta, sefamiliar apapun gue dengan kota ini, bukanlah tempat yang aman. Ibu Kota yang menjadi pusat tatanan politik, seringkali menjadi tempat pergolakan besar.
Dan dua, lanjutan dari hal yang gue pelajari, gue termasuk orang-orang yang beruntung bisa tinggal dengan keluarganya, dengan aman. Gue tahu, ada banyak yang tinggal di kota ini sendiri, jauh dari keluarganya. Dan nggak sekali dua kali gue melihat berita di televisi ada aktivis atau orang yang dinyatakan hilang, seusai acara demonstrasi misalnya.
Untuk itu, gue nggak merasa terkurung atau mendapat julukan anak mama kalau di usia segini (apalagi lelaki) masih tinggal sama keluarga. Masih numpang manis di kamar yang sudah gue tinggali sejak kecil. Toh gue emang anak mama. Ya nggak?

KAMU SEDANG MEMBACA
Lala Aide
Fiction généraleKatanya, kita selalu tahu jika kita bertemu dengan orang yang tepat. Seperti tidak lagi ada syarat perlu dipenuhi karena kita hanya tahu, dia untuk kita. *** R 17+ | Bahasa Indonesia © ami 2020 Little AU Asaldi, a sosmed au on highlight intsagram sk...