—Aldila Devan
Aku ingin menyublim saja.
Itu adalah kalimat yang pertama kali bergaung di telingaku setelah aku terbangun. Bagaimana tidak merutuki diri sendiri, kalau aku terbangun dalam keadaan kedua tanganku masih memeluk lengan Asa yang sepertinya sejak semalam.
Oke well, lengan Asa kekar. Aku tidak begitu memperhatikan karena dia jarang mengenakan kaus ketat tetapi begitu menyentuhnya... oh God. Dia juga hangat, tentu saja. My hoe side definetely loves this. Tetapi sebagai seseorang yang masih memiliki (sedikit) harga diri, rasa malu kemudian menggulungku berlipat-lipat begitu aku sadar apa yang sedang aku lakukan.
Perlahan aku merenggangkan cengkraman tanganku dan menariknya pelan-pelan. Melepas pelukan agar aku tidak bergelanyut pada lengannya seperti ini. Berharap Asa tidak usah tersadar.
"Al?" Aku mendongak. Ternyata dia sudah bangun dan sedang memandangiku melakukan kegiatan—apakah namanya melepaskan diri?—itu dari lengannya. "Udah sehat?" Tangannya menempel ke dahiku sejenak karena aku menampilkan ekspresi kaget. "Ternyata benar udah nggak anget," ujarnya ringan.
Aku jadi teringat kalau semalam badanku memang terasa tidak nyaman setelah mimpi buruk. Aku juga merasa sedikit lemas. Tetapi sepertinya sekarang sudah baik-baik saja.
"Al, udah bangun belum sih?" Ia bertanya karena aku tidak merespon.
"Hah?" Aku mengerjapkan mata melihatnya lagi.
"Selamat pagi." Ia lantas menyapa sambil menyunggingkan senyum.
Aku buru-buru menarik selimut hingga menutupi kepalaku. Berteriak kencang, dalam hati tentu saja, sambil menggigit bibir. Bisa-bisanya Asa pagi-pagi sudah bikin jantung anak gadis jumpalitan hanya karena rambutnya yang berantakan setelah bangun tidur tetapi wajahnya tetap tampan ditambah ucapan selamat pagi dengan suara sedikit serak plus sebuah senyuman manis di bibirnya.
Oh tunggu sebentar, aku kan harusnya panik! Oke ulang. Bisa-bisanya... ah sudahlah. Aku membuang napas. Aku terlalu malu untuk menjelaskan ulang kejadian semalam. Apa yang sedang aku pikirkan sih kok sampai berani minta peluk sama Asa?
Benar. sekarang aku ingin menyublim saja. Aku ulangi doa itu. Meski katanya, gas dan debu-debu di langit itu ketika ditarik oleh gravitasi kuat bisa menyebabkan panas dan reaksi nuklir yang menghasilkan bintang. Kalau aku jadi gas dan Asa jadi gravitasinya, apa kami berdua bisa jadi bintang?
Aldi Stop! Aku menggeleng-gelengkan kepala mengusir racauan pagiku. Barangkali karena jantungku sudah berdegup cepat makanya oksigen sampai di otakku lebih cepat juga jadi aku berpikir macam-macam.
"Al." Aku mendengarnya lagi Asa memanggil namaku. Sekarang ia sedang bergerak kemungkinan memosisikan tubuhnya untuk duduk bersandar. Aku tidak begitu tahu. Aku masih berada di balik selimut mencengkeramnya erat supaya tidak dibuka. Kulit mukaku belum setebal itu untuk menatap Asa meski aku jadi bingung sendiri apakah aku harus berteriak dari balik selimut mengusirnya atau..
"Gue minta maaf."
Hmm? Apa aku tidak salah dengar?
"Minta maaf buat apa?"
"Apa Al? Gue nggak denger."
Aku menarik selimut turun pelan-pelan. Kali ini mau melihatnya meski sebagian masih merasa malu tetapi sepertinya ini penting untuk dibicarakan.
"Lo minta maaf buat apa, Sa?"
Kulihat ia menghela napas lalu memandang ke depan. "Karena gue udah mikir yang enggak-enggak tentang lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lala Aide
General FictionKatanya, kita selalu tahu jika kita bertemu dengan orang yang tepat. Seperti tidak lagi ada syarat perlu dipenuhi karena kita hanya tahu, dia untuk kita. *** R 17+ | Bahasa Indonesia © ami 2020 Little AU Asaldi, a sosmed au on highlight intsagram sk...