26c. Back to me

1.9K 96 51
                                        

—Arvin Sayudha Aiden

"Heh, mana nih yang katanya habis nangis?"

Gue membuka mata dan bayangan buram yang terbentuk di mata gue memperlihatkan sosok yang familiar. Perlu setidaknya 3 detik menunggu kesadaran gue sepenuhnya kembali dari fase tidur dan 2 kali mengucek mata untuk memperjelas siapa di sana.

Seorang wanita berambut panjang yang berdiri di samping ranjang. Wanita yang gue tahu bukan mama gue karena mama tidak sekurus itu. Wanita yang tingginya di bawah gue, yang menghabiskan hari-harinya dengan gue dulunya.

Kakins.

"Ish, lo pulang cuma buat ngeledekin gue?" Gue melempar satu bantal ke arahnya. Kakak gue itu malah cengengesan menangkap bantal tersebut dan melemparnya kembali. Ia menampilkan senyuman lebarnya. Ekspresi wajahnya yang sumringah terlihat bersemangat padahal ini masih dini. Mungkin ia kelamaan tidur kali ya di pesawat makanya baterainya masih full, bertenaga buat sepagi ini mengusik tidur tenang gue.

Nggak lama, ia duduk bersila di kasur gue dengan sandal yang belum dilepas.

Tuh kan. "Sendal lo!"

"Ups," ujarnya berbasa basi. Perempuan yang lebih tua tiga tahun dari gue itu dengan gerakan perlahan melepas sandal kamarnya dan meletakkannya di samping kasur. Sengaja melambat-lambatkan geraknya untuk membuat gue geram. Memang dari dulu kayaknya ia ada buat ngusilin gue.

"Gue denger cerita dari mama. Lo abis nangis yaaaaa?" tanyanya dengan nada menggoda.

Sumpah ya ini orang, dateng dari Amrik masa yang diurusin pertama soal gue nangis, sih? Tanya kabar dulu kek.

"Apa kabar lo?" Jadi sebagai adik yang baik, gue yang bertanya kabarnya duluan. "Kok mama cepu sih," sambil menggerutu ringan mengutarakan protes gue.

"AAAk!" Tapi yang ada gue malah kena cubit. "Kok lo nyubit sih?" Gue mengelus lengan gua yang terasa panas. Kakins tuh kalau nyubit cubitannya kecil tapi kuat, jadinya panas banget membekas di kulit sampai jadi merah bekasnya.

"Mama sendiri dibilang cepu!"

"Ya kan emang,"

"Kabar gue baik btw, kabar lo kayaknya yang enggak baik."

Shoot.

Gue mendengus. Memilih bergerak meringkuk ke arah lain, memunggunginya. Males kalau pagi-pagi baru bangun dibikin badmood diledekin begini.

Seminggu ini yang gue lakukan adalah mencoba melupakan. Gue lebih menyibukkan diri ke pekerjaan gue dan menjadi lebih rajin dari biasanya, sampai kepala proyek gue aja heran karena gue tiba-tiba ngambis padahal selama ini gue ya biasa-biasa aja. Nggak buruk, tetapi juga nggak super banget dalam bekerja. Karena gue juga tahu kalau anak baru udah banyak dipuji sama atasan nantinya yang ada malah makin banyak yang nggak suka, dan makin banyak yang manfaatin gue dengan menyuruh gue ini itu.

Tapi mungkin gue udah kepalang nggak peduli dengan itu semua. Gue cuma pengen gue sibuk. Gue cuma pengen waktu gue berlalu cepat sampai gue nggak sempet punya waktu untuk mengingatnya. Berharap apa yang terjadi awal minggu lalu makin lama makin nggak terasa menyakitkan buat gue.

Meski rasanya mustahil. Berada di kantor ini saja sudah cukup membuat gue mengingat banyak hal tentang Aldi. Pertemuan kembali gue di lobi depan, dirinya berada di pantry sini, lantai enam belas, depan lift, kantin, ruang meeting, parkiran. Tempat ini adalah tempat biasa gue melihatnya. Namun sekarang bayangannya pun enggak ada.

Iya gue emang cupu banget masalah beginian sampai kadang ingin nyerah, ingin pindah kantor juga padahal masa kontrak kerja gue sebagai pegawai sana belum lama dimulai.

Lala AideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang