25. Changes

772 94 78
                                    


—Aldila Devan

Ini adalah sebuah kamar yang cukup rapi. Awalnya, kupikir Asa adalah seorang yang memiliki kamar dengan nuansa abu-abu yang chic, dengan alat musik, peralatan elektronik untuk bermain game mungkin (sebuah bayangan yang typical), dan benda kontras warna putih bersudut tegas. Namun rupanya berbeda sama sekali. Ruangan ini cukup hangat dan nyaman.

Tempat tidur berlapis seprei polos tanpa motif berwarna putih tulang merapat pada dinding timur. Di sampingnya ada rak rendah berwarna krem kayu dengan lampu tidur yang senada berada di atasnya. Selain satu lemari baju besar dari kayu berukiran, ada rak kayu tinggi berwarna putih di dekat jendela persegi yang terbuka tirainya, berisi buku-buku yang tersusun rapi sesuai tinggi, kumpulan kaset dan CD lagu yang tidak kutahu milik siapa saja, dan dua pot tanaman berwarna putih berisi tanaman hias Peperomia Obtusifolia Variegata atau yang kutahu biasa Bu Mala sebut dengan bayi karet atau wajah lada (sebuah nama yang aneh) dan satu lagi pot yang berisi sansivera mini. Di depan jendela ada meja dan kursi yang seragam, berwarna coklat krem muda dengan kaki-kaki putih. Hanya ada dua benda, jam meja dan pigura foto berisi 4 orang—yang kurasa adalah foto keluarga Asa—diletakkan di sudut meja.

Aku hanya mengamati dari tempatku berdiri, yakni tidak jauh dari pintu, tidak berani mendekat takut bila aku terlalu membacanya. Dugaanku tentang kamar ini hanya benar satu hal, yakni soal alat musik. Sebuah gitar berwarna coklat kayu dengan gradasi warna muda di bagian tengahnya duduk rapi di atas penyangganya di sudut kamar.

"Istirahat di sini aja, kalau di ruang tamu pasti diajak ngobrol panjang sama mama."

Aku mengangguk kikuk. Duduk perlahan di atas kasurnya yang empuk. Rasa lelahku bertumpuk di lengan dan kakiku. Terutama lengan kiriku yang berjam-jam menahan palet cat dalam posisi diam.

"Ac-nya kurang dingin nggak, Al?"

Aku menggeleng. Keringatku sudah hampir kering. Aku merasa cukup.

"Aku bawain minum ke sini juga ya?"

"Nggak usah, Sa. Udah cukup kok tadi. Nanti aja." Aku tadi sudah minum banyak. Juga sudah makan aneka jajanan yang disediakan mama Asa di meja teras belakang. Aku sudah cukup kenyang. Tidak mau Asa terlalu repot juga.

"Kalau mau tidur dulu juga nggak apa-apa, Al. Nanti aku bangunin pas makan siang." Asa berkata lagi. Dan lagi-lagi hanya kubalas anggukan.

Sejujurnya, aku merasa itu sebuah penawaran yang menarik. Aku memang lelah. Selain karena aku ingin tahu apakah kasur ini penuh dengan wangi tubuhnya.

"Sa," Asa yang hendak melangkah keluar kamar menoleh. "Lukisannya aku bawa dulu ya?"

"Kenapa?"

"Aku kasih ke kamu setelah aku rasa selesai. Nggak apa-apa kan?"

Sepagi tadi hingga matahari sudah bersinar panas, aku berdiri di halaman belakang rumahnya. Aku tidak hanya membuat satu tetapi tiga lukisan. Rasanya, meskipun Asa tak menuntut apa pun, aku masih merasa tidak puas. Apakah karya ini cukup bagus atau belum. Mungkin sebagian karena diriku merasa belum siap untuk menunjukkannya. Selama ini hasil karyaku hanya akan berada di tumpukan rak di gudang, tidak untuk dipandang orang lain.

Asa mengangguk perlahan. "Iya, nggak apa-apa. Take your time."

Selepas Asa pergi dan menutup pintu aku membaringkan diri dengan hati-hati. Mencoba mengenali tempat baru ini. Sejenak kusadari, di langit-langit kamarnya ada sticker bintang-bintang juga, mirip seperti yang ada di kamarku. Dahiku jadi sedikit mengernyit. Batinku bertanya apakah Asa juga menyukai melihat bintang saat malam? Sejak kapan Asa memilikinya? Apakah ini bisa disebut kesamaan kami? Apakah memang masih banyak orang dewasa yang memiliki sticker bintang-bintang berpendar di langit kamarnya? (Bukankah sekarang sudah ada bentuk light proyektor yang lebih canggih untuk itu?). Hingga pada rasa penasaran, bagaimana rasanya kamar ini saat malam?

Lala AideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang