8. First date

1.1K 120 44
                                    



Arvin Sayudha Aiden

Tidak kemana-mana. Malam itu kami tidak jadi mampir ke tempat yang Aldi sempat rencanakan. Ketika kami sampai basement gadis itu tiba-tiba tertawa sendiri. Awalnya hanya berupa cekikik kecil lama-lama sedikit lepas.

"Apanya yang lucu, Al?"

Sedikit lama ia tertawa sendiri sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Gue sampai bingung mengangkat alis karena gadis itu tidak menjelaskan. Pun gue merasa di sekitar kami tidak ada yang lucu. Maksudku, di sini hanyalah sebuah basement yang hampir kosong dengan lampu-lampu putih yang sebagian berkedip dan hawa yang pengap. Tidak ada hal yang tampaknya menggelikan.

"Gue Sa yang lucu." Aldi sudah menurunkan tangannya. "Kita nggak jadi mampir," ujarnya kemudian.

"Lah kenapa, Al? Gue nggak keberatan kalau misal lo mau mampir ke tempat yang jauh."

"Bukan itu, Sa masalahnya. Gue tadinya mau mampir ke pameran tapi baru nyadar kalau ini udah malem banget. Kita kan habis lembur gue ya, mikirnya masih sore aja."

Dia berdecak kecil menggelengkan kepalanya sendiri. Tangannya lantas bergerak membuka pintu mobil setelah bunyi pip dari kunci mobil yang terbuka. Gue juga segera masuk dan duduk di kursi belakang kemudi.

"Jadi tadi lo pengen mampir ke galeri seni?" Gue membuka suara setelah tidak ada yang berbicara di antara kami. Mobil gue sudah keluar dari area perkantoran, sebentar lagi sampai tikungan, dan tidak jauh lagi akan sampai apartemen Aldi. Tempat tinggalnya memang tidak jauh.

"Iya." Aldi hanya menjawab pendek. Tidak lantas berbicara menjelaskan apa-apa. Perempuan itu seperti menutup tirai yang barusan dibuka.

"Kalau other time gimana, Al?"

"Hmm?"

"Gue nganterin lo ke galeri." Dia belum menjawab. "Pas kita nggak ada lembur pulang kerja, atau hari Sabtu mungkin?" Gue menawarkan pilihan lain siapa tahu ia berkenan.

"Ngapain, Sa?"

Gue menghela napas. Aldi selalu bertanya mengapa-mengapa ketika gue melakukan suatu hal kepadanya. Ketika pertama kali bertemu, dia bertanya mengapa gue di kantornya. Ketika di apartemen dia bertanya lagi mengapa gue di sana. Mengapa seperti itu?

"Ya nggak apa-apa kan sebagai temen kantor, gue boleh aja kan ngelakuin itu?" Gue menoleh sebentar ke arahnya. Dia sedang diam menunduk menyaksikan entah apa di pangkuannya. Ekspresinya tidak begitu jelas karena gue hanya bisa menyaksikan wajahnya ketika ada sekelebat cahaya yang masuk dari lampu-lampu jalan yang berdiri berjajar atau sorot kendaraan lain dari depan.

"Ya tapi itu kalau misal lo nggak ke sana bareng pacar lo gitu mungkin," gue menambahi sedikit gugup. Menghela napas ringan kemudian menghadap ke arah depan lagi.

Crap. Gue meremas gagang setir. Sebenarnya itu kemungkinan paling penting yang seharusnya dari awal gue pikirin. Seperti, bisa jadi dulu dia bilang tidak mau gue mengungkit kehidupan pribadinya atau soal ulahnya yang selalu menghindari gue selama ini juga karena dia sudah punya seseorang yang spesial. Seseorang yang menjadi—

"Boleh kok." Dia mengatakannya. Menjawab pertanyaan pertama gue, bukan yang kedua.

"Boleh?" Gue masih ingin memastikan.

"Iya Sa, boleh. Sabtu sore gimana? Lo ada acara?"

"Mmmm...." Gue sebenernya tidak sedang berpikir. Pura-pura saja mengulur waktu biar nggak kelihatan ngarep banget. Sabtu gue nggak ada acara. Kalau ada acara pun kayaknya gue atur ulang demi ini. "Bisa. Sabtu ya."

Lala AideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang