—Arvin Sayudha Aiden
Gue nggak melihatnya sampai hari Kamis. Aldila. Dia nggak muncul barang sebentar di hadapan gue. Iya gue tahu, sebab sekarang gue dan dia sudah menangani proyek yang berbeda artinya sudah semakin sedikit kemungkinan gue bisa melihatnya di kantor.
Selain fakta dari dahulu kalau gue yang bekerja berbeda lantai dengannya, ada tambahan sekarang yakin gue yang nggak banyak berhubungan dengan orang-orang di lantai bawah. Gue jadi nggak punya alasan untuk sneaky turun ke sana. Kecuali kalau gue emang bener-bener gabut dan iseng. Tapi muka gue belum setebal itu. Apalagi masih kurang sebulan lagi gue baru bisa naik kontrak sebagai pegawai setelah masa probation ini.
Aldi juga nggak sering gue lihat ke pantry sini. Setidaknya selama 4 hari kerja ini gue nggak melihatnya ke sana. Dengan gue yang tiap 15 menit selalu menengok ke arah pantry sebelum ada yang menggeret gue turun buat makan.
Gue menghela napas. Apalagi yang salah kali ini? Kayaknya minggu lalu pas main ke rumah gue Aldi baik-baik aja. Ia juga masih ngobrol santai dengan Mama, bahkan ikut makan malam dan pulang setelah cukup larut. Apa gara-gara itu? Apa gue harusnya ngajak dia sebentar aja?
Namun kemarin kan lama gara-gara diajak ngobrol Papa. Papa memang suka dengan lukisan dan ketika tahu Aldi suka melukis—gue baru ngerti juga tentang ini—gadis itu jadi diajak berbincang panjang soal salah satu seni rupa itu.
Papa bahkan mengajak Aldi masuk ruang kerjanya yang memiliki dua lukisan besar di dindingnya. Saking semangatnya, Papa juga akhirnya mengajak Aldi ke gudang penyimpanan tempat lukisan lamanya disimpan. Yang karenanya Aldi jadi bersin-bersin oleh debu.
Eh?! Apa alergi debunya makin parah maka dia nggak masuk kerja? Namun pesan gue malam itu masih dibalas dan dia bilang baik-baik saja setelah minum obat anti alergi. Hanya itu percakapan maya terakhir kami. Setelahnya tidak ada lagi.
Hei, tnyt gue belum kelar. Bakal kelar jm 8. Ttp jd ktmu?
Ada pesan yang baru masuk ke dm instagram. Aplikasi jejaring sosial itu sekarang gue install lagi setelah bertahun-tahun gue nggak merasa memerlukannya. Gue sudah mengikuti profil Aldi setelah ia meng-approve permintaan follow dari gue, meski gadis itu belum mengunggah update apa-apa. Setidaknya lewat ini gue bisa menghubungi orang lain termasuk janjian dengan Dokter Ratna.
Nggak, kok. Bukan gue lagi sakit—apalagi sakit hati—tetapi emang gue ada perlu sama sahabat Aldi itu. Pengen ngobrol aja kok (bukan buat nikung, bukan).
Gue mengiyakan dan karenanya jam setengah 8 gue sudah berada di ruang tunggu rumah sakit tempat Dokter Ratna bekerja. Duduk di salah satu jejeran kursi yang sudah kosong di depan IGD.
Gue nggak pulang habis dari kantor. Hanya mampir ke restoran korea buat makan—yang ternyata sudah lama nggak gue lakukan karena biasanya selain makan di kantor saat lembur, gue makan malam di rumah. Makan masakan Mama gue sendiri. Ternyata lama nggak makan di luar bikin kangen juga sama micin dan gula ya.
"Oy!"
Ratna mengetuk pundak gue dengan jari telunjuknya. Gue menengadah setelah lama menunduk fokus pada layar handphone.
"Eh, Dokter. Udah kelar?" Dia hanya mengangguk sekilas tersenyum simpul tipis, sedikit geli karena gue memanggilnya dokter.
"Bisa nggak sih lo st-"
"Nih, ada gue bawain buat lo. Kali aja lo belum makan." Gue tahu dia mau nyuruh gue berhenti manggil dia dokter karena nggak sedang dalam professional circumstances makanya gue cepat menimpali. Gue tadi cuma iseng kok.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lala Aide
General FictionKatanya, kita selalu tahu jika kita bertemu dengan orang yang tepat. Seperti tidak lagi ada syarat perlu dipenuhi karena kita hanya tahu, dia untuk kita. *** R 17+ | Bahasa Indonesia © ami 2020 Little AU Asaldi, a sosmed au on highlight intsagram sk...