2. About her

2.6K 171 17
                                    

in flashback

Arvin Sayudha Aiden

Pertemuan gue pertama kali dengan Aldi adalah ketika itu. Di sebuah malam gue menghadiri pesta yang diadakan sama kolega kantor di sebuah rooftop cafe. Gue yang mengajaknya kenalan setelah lama hanya mengamati gadis itu berdiam di dekat meja jamuan seorang diri. Such a waste to see a beautiful woman without company. Makanya gue mendekati, dan berbasa-basi untuk sekedar menemani. Toh gue juga udah sampai bosan ngobrol sama temen-temen gue sendiri.

"Gue... Asa." Lidah gue lebih dulu menyatakan nama yang biasanya jarang gue bagi, apalagi sama temen kantor or such. Gue lebih seneng memperkenalkan diri jadi Arvin, meski Asa juga nama gue.

"Aldi." Dirinya memperkenalkan diri sambil menerima uluran tangan gue.

"Sendirian?"

"Ngg... nggak, sama temen. Tuh yang lagi ngobrol, yang rambutnya ikal." Gue menoleh ke arah jemarinya menunjuk. Ada segerombol yang sedang mengobrol di dekat lampu.

"Yang pakai jas coklat?" Tanya gue memastikan menangkan sesosok laki-laki dengan rambut ikal yang tak terlalu panjang. Sedikit berjaga-jaga melihat seperti apa status gadis itu ke mari, single atau double jadi gue bisa memilah seperti apa kedekatan yang bisa gue tawarkan.

"Bukan, yang pake dress merah," ujarnya jujur. Pandangan mata gue bergeser sedikit dan menemukan seorang perempuan mengenakan dress merah berambut ikal. Oh. Sedikit gue meloloskan senyum.

"Lo seneng main ke pesta, ya?" tanyanya yang menurut gue sedikit absurd. Who's play on party? we party on party.

"Lumayan." Gue menangguk kecil. Obrolan kami mengalir ringan meski terkadang ada jeda. Gadis itu tidak banyak menjawab, lebih senang bertanya atau diam.

"Kalau lo sendiri? Sering?"

Gadis itu memiringkan kepalanya sedikit mendengar pertanyaan gue. "You ask about frequent, then I say yes."

"Senengnya?"

Ia meloloskan senyum kecil dari bibirnya yang mungil sebelum menjawab, "I guess you already had the answer on my face since you asked my name." Ia lalu membuang muka ke arah lampu-lampu yang menggantung berjajar, merefleksikan sinarnya mengerlip di bola mata.

Gue menyesap minuman gue perlahan. Mengerling pelan ke arahnya. Sedikit memahami. Setelahnya, gue bisa sedikit mengurangi rasa bosan yang gue tangkap dari raut mukanya dengan obrolan kami yang mengalir.

"Pesta kadang jadi hal yang terlihat glamorous, tempat pamer apapun, kemolekan, harta, circle, lebih dari fungsi perayaan. You'll see the tagged post of this cafe would be full of that kind of people."

Gue mengangguk setuju dengan pernyataannya. Sesimple gue berada di sini juga gara-gara temen gue, yang notabene anak dari pemilik kafe bintang lima ini sedang merayakan ulang tahunnya. Kalau enggak saling terkait, gue mungkin nggak akan menjejakkan kaki di sinii. That's a bold example of classist culture.

"But you're here too. Often as you just stated."

Bibir tipisnya menyungging senyum yang entah mengapa begitu gue nikmati meski kita baru pertama kali bertemu. Seperti candu. Seperti ketika menemui benda baru yang merenggut keseluruhan atensi.

Dia memandangi gelas berkaki jenjang di tangannya yang telah kosong. "You know, Sa? My essence is actually only to be with people. Either they're known by me or not." Ia meletakkan gelas itu di meja. Tersenyum kecil, "Shall we try lighter conversation? Btw lo kerja di mana deh?"

Lala AideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang