0. Prolog

8.1K 299 12
                                    

—Arvin Sayudha Aiden

Katanya, kita selalu tahu jika kita bertemu dengan orang yang tepat. Seperti tidak lagi ada syarat perlu dipenuhi karena kita hanya tahu, dia untuk kita.

Mungkin itu alasan kenapa gue masih berusaha mengejar Aldi terlepas dari penolakan yang kerap ia lakukan. Dan tibalah dimana gue pada akhirnya membiarkan gadis itu tahu perasaan gue. 

Hari ini adalah hari di mana gue menyatakan rasa pertama kali ke Aldi. Di meja makan rumahnya yang jauh dari tempat gue pertama kali bertemu. Pukul tiga dini hari. Diiringi suara gerimis jatuh mengenai atap dan teras. Bersama minuman hijau hangat dengan buih dan potongan marshmallow yang mengapung di atasnya.

Sama sekali bukan seperti apa yang gue bayangkan ketika gue akan menyatakan perasaan kepada orang lain dalam imajinasi gue selama ini. Bukan seperti misalkan makan malam di sebuah restoran berbintang yang sudah direservasi sebelumnya, datang dengan baju cantik dan gaun, dengan wine dan mawar merah. Atau mungkin dengan dandanan kasual di sebuah rooftop menikmati senja yang merah dengan ciuman hangat sebagai penutup. Bukan, ini bukan pengungkapan perasaan yang romantis. Meski barangkali romantis selalu memiliki arti ganjil bagi masing-masing orang.

Semuanya bermula dari percakapan pukul tiga dini hari.

"Asa, please stop making it complicated. Can you?"

"Apanya yang complicated sih, Al?"

"You make things uneasy for me."

"Kenapa?" Gue masih nggak mengetahui di mana yang terlihat complicated. Peraturan kantor sekarang bahkan nggak melarang adanya hubungan suami istri tidak seperti larangan di zaman dulu. Apalagi kami kan juga baru mau memulai.

"Karena gue nggak tahu perasaan lo gimana dan harus bersikap gimana sama lo." Suaranya serak terdengar makin lirih.

Satu, gue salah ketika mengira apa yang gue lakukan sudah bisa menjadi dasar yang jelas bagi Aldi menyimpulkan. Enggak, perempuan membutuhkan sesuatu yang jelas dan mungkin akan terus kebingungan ketika hal itu tidak clearly stated

"Aku suka sama kamu, Al." Untuk itu gue menjawab kebingungannya. Dini hari, di antara matcha apung yang hampir habis dan udara dingin yang merayapi kaki kami.

Aldi mengangkat alis terkesiap mendengar apa yang barusan gue katakan. Sedangkan gue, di sini sedang duduk dengan debar jantung terasa makin aneh. Rasanya menyesakkan dan mengusik gue tidak nyaman, menuntut untuk segera diselesaikan.

"Aldila," Gue mengambil napas, "Would you like to be my g-

"Asa." Belum genap gue mengucapkan kalimat itu ketika Aldi menyela. Gue jadi berhenti berkata. "Aku... aku nggak bisa pacaran, Sa."

Jawabannya membuat gue selalu bertanya. Apakah kita mencinta hanya ketika kita merasa siap ataukah sebenarnya kita selalu siap untuk mencinta?

*****







Hi, kenalkan aku Ami.

Selamat datang di babak cerita baru, beberapa catatan yang ingin kutuliskan di awal adalah:

- Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan tokoh, nama, setting, semua itu tidak berdasarkan unsur kesengajaan. 

- Apabila berkenan, boleh mencoba membaca cerita ini beberapa bab untuk mengetahui apakah kisah berikut sesuai dengan seleramu, dan silakan berhenti kapan saja apabila tidak sesuai yaa. 

- Karya ini dilindungi oleh undang-undang. Dilarang melakukan plagiasi terhadap isinya.

- Apabila ada kesalahan dalam penulisan bisa memberi kritik dan saran dengan sopan.

- Tidak ada paksaan untuk memberikan vote dan komentar karena di sini aku hanya ingin berbagi cerita, tetapi akan sangat menyenangkan apabila tulisan ini dihiasi bintang berwarna dan cuap obrolan yang sopan di kolom yang disediakan, biar aku pun bisa menyapamu.

Selamat membaca, semoga perjalananmu menyenangkan.

love, Ami.

Lala AideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang