7. No longer the same

1K 130 27
                                    

Aldila Devan

—Aldila Devan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gravitasi. Menurut wikipedia (lebih ringkasnya karena mengambil definisi dari buku fisika asli akan membingungkan) adalah gaya tarik menarik yang terjadi antara semua partikel yang mempunyai massa di alam semesta. Itu adalah salah gaya hal yang membuatku muak karena aku tidak bisa lepas darinya sejak sekolah (yang mana aku dulu harus mengambil les untuk memahaminya) hingga aku bekerja aku masih harus berkutat dengan gaya tersebut ketika memperhitungkan gaya gravitasi bumi dan efeknya terhadap konstruksi bangunan.

Ada alasan yang baru mengapa aku makin muak. Tetapi ini teori pribadi. Yakni Asa sejujurnya punya gaya gravitasi. And his gravitational force is inevitable.

Ingat tidak ketika awal aku mengenalnya di pesta itu aku hanya berpikir soal magnet dan dia yang membelokkan train of thought-ku tetapi kini, aku merasa gayanya lebih besar yakni gravitasi yang nggak hanya memengaruhi pikiranku tetapi juga seluruhnya. I got trapped in his orbital.

Aku mulai menyadari ketika aku sedikit (tolong diingat, sedikit) merindukan sosoknya setelah ia pergi dari kasurku. Jadi aku merasa sedikit aman karena akan lepas dari hal-hal tentangnya dan mulai lupa. Namun ternyata ia kembali muncul sebagai teman kantor yang membuatku jadi sedikit kalang kabut. Aku ingin jadi pluto yang keluar dari tata surya. Keluar dari orbitnya maka seluruh energi kukerahkan untuk misi penghindaran meski pada akhirnya aku menyerah juga. Pesawat tempurku kehabisan energi dan dia yang masih mengejarku akhirnya menangkapku seperti tawanan (ini lebay memang, tapi ibaratkan saja begitu).

Aku menyerah, duduk lemas di dalam mobilnya tidak ingin bercakap banyak. Sebagian karena masih ada sisa ketakutan dikejar preman tadi yang untung saja ada Asa. Sebagian karena Asa datang yang memasukkanku pada penjara yang lebih besar, orbit dalam gaya gravitasinya.

Akhirnya aku beranikan bertanya setelah lama diam dalam pikiranku yang kacau. "Gue harus manggil lo Asa atau Arvin?"

Asa adalah seseorang yang pernah tidur bersamaku sedangkan Arvin adalah seorang kolegaku di kantor. Seharusnya begitu, mereka bukan sebuah kesatuan. Kenyataannya, keduanya adalah seorang. Dan tidak seharusnya aku membedakan dirinya ataupun melontarkan pertanyaan yang aku yakin Asa mengerti artinya. Itu tidak baik. Seperti menerima seseorang tetapi menolak sisinya yang lain.

"Lo boleh manggil gue senyaman lo aja. Asa, atau Arvin, dua-duanya tetap nama gue."

Kata nyaman menjadi hal ganjil. Aku ingin memanggilnya Arvin saja seperti yang lain tetapi bagaimana jika otak dan lidahku sudah terlalu nyaman dengan panggilan Asa? Sebenarnya dia juga tidak pernah memperkenalkan diri sebagai Arvin kepadaku. Apakah sebagian besar diriku berkontradiksi sendiri? Seperti sebuah ketidaksinkronan.

Makasih, Sa.

Karena memanggilnya Asa sudah menjadi sebuah automatic drive. Untung saja di kantor aku tidak harus sering berurusan dengannya. Tidak mesti acap memanggil namanya. Hanya sesekali di perbincangan kecil kami, di sela-sela rapat atau saat berpapasan berdua. Iya, aku sudah berjanji untuk berhenti menghindar kali ini. Kendati terkadang rasanya sedikit awkward entah karena sebab apa, berbicara dengannya lumayan menyenangkan.

Lala AideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang