—Arvin Sayudha Aiden
Namanya Ryanti. Ryanti Adisoeryo jika sebagai anak, atau Ryanti Tirta jika sebagai istri. Meski lebih sering dikenal sebagai Bu Tirta jika di lingkungan rumah, dan hanya sesekali dipanggil Bu Ryanti jika di kantornya dulu, gue memanggilnya dengan panggilan lain, Mama.
Malam ini Mama sedang menjadi seorang Ryanti Adisoeryo, berada di tengah-tengah ruang keluarga yang ramai. Gue juga sedang di sini, meski nggak di tengah, duduk di kursi pinggir dekat dinding bersebelahan dengan Mas Saiful yang memangku anaknya. Reno yang baru berusia 4 tahun itu sedang terlelap.
"Kerjaan lancar, Sa?" sapanya lirih. Mungkin supaya nggak terlalu mengganggu Reno padahal suara riuh dari ruang tengah itu lebih keras.
"Lancar, Mas. Kebetulan baru pindah kantor terus udah langsung gabung sama proyek."
"Ooo, pindah kemana?"
"Ke Lamika Mas."
"Lah, yang di Antasari deket TB Simatupang itu?
"Iya."
"Lebih deket dari rumah, dong?"
"Iya, Mas, makanya sekarang balik lagi tinggalnya di rumah lagi sama Mama."
Perbincangan kami berlanjut dari hal-hal kecil soal keluarga sampai yang berat-berat soal investasi. Percakapan kami makin seru lagi setelah Mas Aji, sepupu gue yang lain, ikutan bergabung. Malam minggu ini memang ramai. Banyak saudara yang berkunjung ke rumah joglo tua yang masih berdiri kokoh di daerah Bintaro ini.
Pada malam Minggu di minggu keempat setiap bulannya, memang ada jadwal berkumpul keluarga Adisoeryo, keluarga eyang gue dari Mama. Om Arif yang mengusulkannya terlebih setelah eyang putri meninggal tiga tahun yang lalu. Awalnya bergiliran anak-anak eyang yang kebetulan jumlahnya pas 4 untuk membagi jatah weekend setiap bulannya. Tetapi lama-lama kami jadi mengagendakan acara setengah wajib ini sekali setiap bulan untuk berkumpul bersama. Jadi tidak hanya silaturahmi ke eyang saja tapi juga saudara-saudara yang lain. Meski tetap, tidak ada larangan untuk datang di minggu-minggu yang lain.
Eyang kakung gue adalah seorang laki-laki keturunan jawa. Beliau adalah seorang mantan guru yang sudah mengajar sejak sekolah belum sebanyak sekarang. Gue nggak begitu ingat apakah gue juga pernah digendong di pundak seperti cerita sepupu-sepupu gue yang lain, karena mama adalah anak terakhir pun gue anak bungsu jadi gue mengenal kakek gue ketika sudah sedikit berumur. Yang jelas, gue inget dulu waktu kecil sering digandeng kakek sambil berkeliling di kebun binatang. Memori tentang nenek juga tidak terlalu banyak karena beliau sudah sering sakit sejak dulu. Kakek nenek gue dari pihak Papa sudah lama meninggal sejak gue kecil sepertinya, gue nggak begitu mengingat jelas seperti apa wajahnya. Jadi ya tinggal eyang kakung saja kakek gue yang tersisa.
Jika setiap akhir bulan weekend selalu dihabiskan dengan keluarga eyang, lain halnya dengan weekend minggu pertama setiap bulan. Mama akan meminta kami berkumpul untuk acara malam mingguan keluarga kecil. Biasanya kami yang isinya sekarang bertiga — gue, Mama, dan Papa — akan menghabiskan waktu berbelanja bulanan di luar sambil makan malam atau sekedar berjalan santai dari sore di ruang terbuka. Biasanya kami juga tidak absen untuk melakukan video call dengan kakak gue yang sekarang lagi jauh.
Hal-hal seperti ini dulu buat seorang 25 tahunan Asa terasa nggak begitu keren. Seruan juga nongkrong bareng temen-temen, hahahihi, atau main ke bar, menjalin relasi atau nyari cewek-cewek cakep. Tapi ketika gue sekarang udah 28 tahun, rasanya ini justru sesuatu yang bernilai tersendiri.
Sebagian orang masih berkutat pada motto time is money. Sedang bagi sebagian yang lain, sudah beranjak lebih dari itu. Waktu menjadi lebih berharga daripada uang. Waktu-waktu kebersamaan dengan orang tercinta.
![](https://img.wattpad.com/cover/235632863-288-k689934.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lala Aide
General FictionKatanya, kita selalu tahu jika kita bertemu dengan orang yang tepat. Seperti tidak lagi ada syarat perlu dipenuhi karena kita hanya tahu, dia untuk kita. *** R 17+ | Bahasa Indonesia © ami 2020 Little AU Asaldi, a sosmed au on highlight intsagram sk...