— Arvin Sayudha Aiden
"Fine."
Aldi bilang fine.
Gue masih mencoba mencerna apa maksudnya saat gadis itu kemudian perlahan berjalan ke arah gue. Ia menghela napas. Wajahnya masih menunduk tidak menatap gue. Hanya suaranya kemudian lirih terdengar.
"Lo bisa anterin gue pulang."
Gue tersenyum dan kemudian membukakan pintu mobil untuknya.
Oke. Gue akui sore itu memang gue sedikit frustrasi dengan mengatakan apa yang selama ini terasa mengganjal antara dia dan gue. Terkait sikapnya. Gue nggak paham apa yang menjadi halangannya untuk menjadi biasa saja yang menghalangi gue untuk mendekat. After what's happened between us.
Sejujurnya gue sendiri nggak begitu yakin bagaimana mengorganisir sikap (dan perasaan) gue ke Aldi. Singkatnya, ketika gue merasa dia adalah kenalan gue yang mungkin bisa membantu gue beradaptasi di kantor yang baru ini, malah bukan itu yang terjadi. Aldi, setelah mengetahui kalau gue kini bekerja satu tim dengannya, makin berusaha menghindari gue di kantor.
Berusaha. Iya, gue tahu, nggak cuma merasa. Gue tahu dari beberapa hal.
Gue tahu ceritanya, soal pantry lantai ini yang memang ramai tidak hanya oleh penghuni lantai 17 tetapi juga lantai 16 karena di bawah hanya ada mini pantry. Gue juga tahu cerita soal loker-loker di pantry dari Kenan yang katanya dia akhirnya dapat satu tempat lengseran dari Mbak Riva, karyawan yang resign yang mejanya akhirnya gue tempatin. Ada loker milik Aldi juga ia tunjukkan. Namun yang punya sudah lama tidak mengunjungi pantry ini, sejak awal gue kerja kalau gue hitung. Padahal kata Andre, anak-anak lantai 16 sering banget makan di pantry lantai 17.
Gue ketemu Netta suatu hari yang lagi bikin kopi di pantry lantai 17. Dia bikin kopi di cangkir kuning yang mirip punya Aldi di apartemennya dulu, sambil membaca catatan di hpnya. Pas gue tanya dia baca apa, dia bilang itu resep kopinya Aldi. Jadi Aldi memang sengaja tidak mengunjungi lantai ini. Karena ada gue kalau bisa gue simpulkan.
Kedua adalah sikap kayak-anak-kecil-nya yang suka tiba-tiba berbelok arah kalau lagi mau papasan sama gue. Di lift kadang-kadang dia tidak jadi ikut masuk kalau ternyata ada gue di dalam, pura-pura mengangkat telepon. Juga kalau di rapat kayak memilih tempat yang jauh dari tempat gue duduk meski gerombolannya ada di dekat gue. Gue nggak begitu ngerti kenapa dia harus bersikap kayak gini ketika gue nggak merasa ada yang salah dari pertemuan kami dan harusnya kami bisa jadi biasa saja seperti officemate pada umumnya.
Gue mengatakan sedikit kekesalan gue dan untung saja, setelah itu Aldi tidak kabur. Gue masih nggak tahu akan seperti apa interaksi kami kedepan, tetapi setidaknya, sore ini ia mau duduk di kursi penumpang mobil gue.
"Mau makan malam sekalian nggak?" tawar gue saat kami sudah duduk di dalam.
"Enggak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lala Aide
Ficção GeralKatanya, kita selalu tahu jika kita bertemu dengan orang yang tepat. Seperti tidak lagi ada syarat perlu dipenuhi karena kita hanya tahu, dia untuk kita. *** R 17+ | Bahasa Indonesia © ami 2020 Little AU Asaldi, a sosmed au on highlight intsagram sk...