Terlalu tegar, tapi nyatanya mudah rapuh, terlalu pemaaf tapi nyatanya hati tetap menyimpan dendam dan rasa kecewa. Itulah yang Rakana rasakan. Mungkin dirinya terlihat santai, walaupun unsur benci masi menggrogoti kepalanya, meminta hati untuk melakukan hal yang sama.
Ego Rakana memang tinggi, ditambah dengan luka yang selalu ia dapat. Dengan itu, dari mana Rakana bisa belajar mengatakan kata maaf, kata sayang dan rasa menerima, karena tidak ada contoh yang selama ini membuatnya memberikan semua itu.
Rakana pendedam? Bukan, Rakana hanya ingin diam, tanpa terusik. Biarkan disisa hidupnya ia menikmati segala kesemuan yang ia miliki, tapi mengapa tak ada satu orangpun yang mengizinkan. Rasa benci itu akan kembali timbul saat melihat wajah-wajah egois itu. Yang mementingkan satu nyawa tanpa peduli yang mana bagi Rakana berharga.
Kakak Rakana--Asya, masih menunggu Rakana memberi jawaban atas sarapan yang ia selalu bawa khusus untuk sang adik. Rakana hanya memandangi dirinya, dengan wajah dingin dan tatapan menusuk.
"Berapa kali udah gue bilang, plis jauhin hidup gue?!" ucap Rakana dengan nada emosi.
"Aku Kakak kamu Ra ..., nggak seharusnya seorang Kakak menjauh dari hidup adiknya." Asya balas menatap Rakana dengan tatapan sendu, tapi Rakana langsung berbalik dan hendak melangkah pergi. Kalau sudah begini, perdebatan menggunakan emosi perasaan, semuanya akan kacau. Rakana tidak mau terpancing.
Asya yang melihat Rakana sudah melangkah pergi, menahan lengan anak itu. Membuat Rakana kembali menoleh ke belakang. "Kakak tau, kamu nggak suka perdebatan yang ngelibatin perasaan kan? Jadi ya udah, nggak usah dilanjut, tapi Kakak mohon kamu terima bekal dari Kakak ya."
Pandangan Rakana bergulir pada kota bekal yang kakaknya pegang. Ia menghela napas, melepaskan tangan Asya yang masi menggegam lengannya lembut. Rakana memandang kotak bekal dan wajah Asya bergantian, hingga rasa tak tega dan rasa benci bercampur jadi satu. Bagai perang batin dalan diri Rakana.
"Ini, kamu bawa gih!" suruh Asya tersenyum manis, mengakat kota bekal itu lebih tinggi, tapi Rakana malah mengambil dengan kasar, langsung membuangnya ke tempat sampah yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Asya hanya dapat menutup mulutnya terkejut, tidak pernah Rakana membuang makanan darinya, tapi kali ini? Rakana benar-benar melakukan itu.
"Aku nggak suka belas kasihan!" Rakana berbalik badan lagi, hendak meninggalkan Asya tanpa peduli bagaimana perasaanya, hingga Rakana dapat merasakan, seseorang mendorong kuat Rakana ke tembok, lalu memberinya sebuah pukulan yang tepat mengenai pipi kirinya.
Rakana meringis pelan, memegangi pipi kirinya yang sudah pasti lebam. Pukulan yang dilayangkan bukanlah pukulan biasa, tapi pukulan kekesalan yang sudah barang tentu sangat kuat.
"Lo jadi adek jangan brengsek kaya gitu!" ucap orang itu. "Ngertiin sedikit perasaan kakak lo, udah dikasi perhatian jangan disia-siain. Karena gue yakin, suatu saat nanti lo pasti bakal nyesel."
"Lo tau apa soal gue?" pertanyaan itu yang tercetus dari mulut Rakana, dengan tatapan meremehkan. Rakana kenal betul siapa orang yang sok jadi pahlawan kesiangan untuk kakaknya. Dia adalah Idwan Mahesa Kara, satu tim basket Rakana serta musuh bebuyutan Rakana. Ia adalah orang yang tiada hari tanpa mencari masalah dengan Rakana. Selalu ada yang diikut campuri, seperti sekarang ini.
"Gue emang nggak tau apa-apa, t_
"Diem aja kalo gitu. Jangan jadi orang banyak bicara tapi bego!" sinis Rakana, dengan kata-kata pedasnya. Tatapan Rakana tampak menantang, seolah menawarkan maut untuk lawan bicaranya. "Gue tau lo busuk, jadi jangan sok baik di depan orang lain."
Emosi Idwan langsung terpancing, ia mendekati Rakana dengan kedua tangannya yang mengepal kuat. Siap melayangkan satu pukulan. "Lo jangan sok tau, karna lo sama aja kaya gue yang tau apa-apa," ucap Idwan penuh penekanan.
"Terus mau lo apa sekarang?"
"Lo minta maaf sama kakak lo. Dia itu kakak kandung lo, saudara lo, orang yang lahir dari rahim yang sama!"
"Tapi gue udah nggak anggap dia kakak."
Asya sakit, tapi sepertinya ada yang lebih sakit mendengar itu, iyalah Idwan. Asya sudah sering mendengar kata-kata Rakana yang tidak mengagapnya sebagai kakak, tetapi tidak dengan Idwan yang baru pertama kali. Ia jadi tidak habis pikir dengan Rakana, selama ini cowok itu punya hati atau tidak.
"Kenapa?" enteng Rakana, tapi yang malah langsung membuat pukulan Idwan melayang begitu saja. Beruntung Rakana dapat menepisnya, tapi sepertinya pertarungan tidak bisa terelakan. Mereka berakhir dengan adu jontos dan guru BK yang memisahkan.
***
Satu jam berlalu, hanya hening yang terdengar. Setelah nasehat yang begitu panjang lebar Rakana dan Idwan dapatkan. Iya begitulah, setelah pertengkaran yang menyebabkan wajah mereka babak belur, mereka harus diseret ke ruang BK terlebih dahulu. Sebenarnya nasehat sudah selesai, tinggal menunggu wali masing-masing untuk mempertanggungjawabkan perbuatan anak-anaknya.Wali dari Idwan sudah datang, tinggal menunggu wali dari Rakana. Satu jam lalu Rakana sudah menelpon ayahnya, tapi sampai sekarang belum juga datang. Rakana sudah geram sebenarnya, apa yang bisa harap dari ayahnya selama ini. Ibunya saja dibiarkan meninggal untuk ditukar dengan nyawa anak perempuan tersayangnya, lalu apa Rakana masi berharap akan dipedulikan.
"Rakana, mana wali kamu?" tanya guru BK berjenis kelamin laki-laki itu, dengan kumis tipis dan wajah garangnya.
"Saya tidak punya wali, mereka terlalu sibuk. Apa tanpa wali tidak bisa?"
"Maaf tidak. Kalaupun bisa, mungkin saya akan memberikan skors yang lebih lama, karena tidak ada orang tua yang datang untuk meminta keringanan."
Rakana menghela napas berat, sepertinya tidak ada pilihan, tapi saat Rakana mau angkat suara, tiba-tiba pintu di ruang Bk diketut.
"Silakan masuk!" suruh Pak Bandi, sebagai satu-satunya guru BK yang ada di dalam ruangan itu.
Saat pintu dibuka yang muncul adalah ayah Arya--pak Freszo, yang sudah Rakana anggap ayahnya sendiri selama dirinya jauh dari sang ayah kandung.
"Permisi Pak, saya Freszo, wali dari Rakana."
"Silakan masuk!"
Pak Frenszo mengangguk dan tersenyum kecil. Ia masuk sambil memandang Rakana, memberikan kode agar anak itu tetap tenang, sekarang ada dirinya yang akan membantu.
"Jadi apa masalahnya?" tanya Frenszo tenang, dirinya berdikap santai seolah adalah benar-benar ayah dari Rakana.
"Begini, Rakana ini tadi bertengkar dengan Idwan, jadi saya sebagai guru BK langsung mengambil tidakan, agar kejadian seperti ini tidak akan pernah terulang lagi."
Freszo langsung memandang Rakana, wajahnya selalu dingin dalan situasi apapun. Ia langsung mengangguk dan menatap kembali pak Bandi. "Menurut saya si wajar, namanya juga remaja, jadi berantem-beranten dikit nggak apa-apalah. Tapi saya kembali lagi pada kebijakan sekolah, maunya gimana."
Pak Bandi langsung memandang wali dari Idwan, yang meminta pendapat soal anaknya. Tetapi sepertinya ia juga langsung setuju dengan ucapan yang dikatakan oleh pak Frenszo. Apalagi diketahui kalau Rakana adalah anak yang sangat berprestasi dibidang academik dan non academik. Idwan juga, ia banyak berpretasi dibidang no academic, sangat jarang mereka bahkan tidak pernah membuat sekolah sampai tercemar namanya.
Dengan semua pertimbangan, pak Bandi pun kembali angkat suara, "karna kalian ada berprestasi dan tidak pernah berbuat onar, saya memutuskan untuk tidak memberikan kalian hukuman apa-apa."
"Makasi, Pak," ucap Idwan yang begitu senang, padahal dirinya sudah sangat takut akan mendapat hukuman berat.
"Tapi inget, jangan pernah diulangi lagi," peringatkan Pak Bandi. Beliau memandang Idwan yang langsung mengangguk patuh, berbeda dengan Rakana yang tidak ada respon apapun. "Kamu denger kan Rakana?"
"Denger kok."
Satu part lagi untuk hari ini. Jangan pernah lupa tinggalkan kritik dan sarannya, aku bakal up segera 😙
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...