Diam dalam hening, kebisingan yang makin menjadi-jadi karena banyaknya siswa yang sudah berdatangan, tidak mengusik sedikit pun Rakana dalam hening serta diamnya.
Malas, bercampur lemas yang masi tertisa, membuat Rakana tidak ada niatan untuk bergerak. Dirinya menunduk, dengan kedua tangan menumpu dagunya. Tatapannya kosong, dan hampir tidak ada sedikitpun nyawa di sana.
"Rakana ...." panggil Arsli pacarnya. Ia tersenyum hangat dan menyodorkan sebuag kotak bekal di hadapannya. Rakana sempat mendongak, sebelum Arsli kembali bicara.
"Ini spesial buat kamu. Masakan dari aku."
Rakana berusaha mengukir senyum. Menerima makanan Arsli dengan senang hati. Tidak mau membuat pacarnya itu kecewa karena Rakana menolak dengan alasan perutnya sedang mual sekali sekarang.
Tanpa perintah maupun izin, Arsli duduk di samping Rakana. Gadis itu memeluknya lalu bersandar pada pundak kokoh yang nyatanya rapuh milik Rakana. Entah kenapa, hatinya selalu nyaman kalau sudah dekat yang dengan namanya Rakana. Walaupun jujur, awal mula semuanya sandiwara, tetapi kini malah masuk ke dalam kata ini semuanya sudah terlanjur murni cinta.
Helaan napas panjang terdengar, membuat Arsli langsung mendongak, menatap wajah Rakana yang tampak pucat. "Kamu sakit?" pertanyaan spontan itu keluar, dengan nada kwatir yang tercetak jelas di wajah cantik gadis itu.
"Kemarin."
"Terus sekarang?" tanya Arsli makin menatap lekat wajah Rakana.
"Udah sembuh."
"Terus kenapa masi pucet?"
Bukannya menjawab, Rakana malah terkekeh. Melihat pacarnya perhatian dan banyak tanya seperti ini malah membuatnya gemas. Entah sejak kapan Arsli punya sikap seperti itu.
"Ih kok malah ketawa si?!"
"Habisnya tumben aja liat Arsli super duper perhatian," jujur Rakana. Karena hal itu tiba-tiba mata Arsli jadi berkaca-kaca. Kejujuran Rakana membuat dirinya jadi terasa terpanah sebuah kebenaran.
Tentu Rakana menyadari kesedihan Arsli. Melihat itu membuat Rakana tak tega, cukup mengerti dengan apa yang Arsli pikirkan. Tangan kanan Rakana menyenduh pundak gadis itu, membuyarkan semua lamunannya.
"Nggak usah ngerasa salah, aku paham kok kesibukkan kamu."
Detik itu juga, air mata Arsli malah langsung jatuh. Dirinya maki merasa bersalah dengan kata-kata Rakana. Ia bukannya sibuk, tapi batas dari sandiwara itu sudah Arya atur.
"Jangan nangis!" suruh Rakana mengusap air mata Arsli. Rakana yang begitu perhatian dan Arsli yang merasa sangat bersalah. Bahkan, dirinya sampai harus memeluk Rakana erat. Ia berusaha menyembunyikan luka atas rasa bersalahnya di balik pelukan eratnya dengan Rakana.
***
Arsli yang baru saja hendak istirahat, tangannya tiba-tiba ditarik oleh Arya. Arsli sudah berusaha memberontak, akan tetapi genggaman Arya malah makin erat dan kasar."Arya lepas!" bentak Arsli saat melihat Arya menyeretnya ke gudang. Namun, yang Arya lakukan malah mendorong kasar Arsli hingga punggungnya membentur tembok.
Arsli berdesis, merasakan punggungnya nyeri. Ia juga mendorong dada Arya, membuat pria itu sadar dengan apa yang telah dilakukan.
"Sadar Arya, sadar!" Arsli memegang keras baju pacarnya lalu mengocoknya. "Kamu mau bunuh aku dengan kemurkaan kamu?!"
Arya menghela napas, ia mengusap wajahnya kasar lalu berpaling sebentar. "Maaf."
Arsli menunduk. Ia tidak berkata apapun, hanya diam membisu sampai pertanyaan lain keluar dari bibir Arya.
"Kenapa?"
"Kenapa apanya?"
"Kamu begitu mesranya sama Rakana?!" Nada Arya kembali meninggi, membuat Asrli tersentak kaget dengan badan gemetar.
"Kamu mulai suka kan sama cowok itu?"
Arsli menggeleng, mencoba mengelak di tengah murkanya Arya. Tidak mungkin ia akan berkata jujur di dalam keadaan seperti ini. Namun, gelengan Asli tak cukup membuat Angga yakin.
"Terus tadi pagi?"
"A-aku cuma ngikutin rencana kamu."
"Tapi aku nggak pernah minta buat kamu deketin Rakana sampai seperti itu." Tatapan Arya penuh intimidasi, begitu tajam, membuat gentar siapapun lawan bicaranya.
Gadis yang kini ditatap begitupun berusaha mengalihkan pandangannya. Dengan hati sudah ketakutan setengah mati. "Kalau kita bikin rencana tapi nggak terlalu dipraktekin, nggak akan pernah berhasil."
Arya diam, masi membiarkan Arsli memberikan kejelasan lain. "Kita cuma buat Rakana pacaran sama aku, terus ya udah aku nggak pernah deket lagi sama dia. Nanti pas diputusin dia nggak akan sakit, karna aku nggak pernah ada di dalam hidupnya."
"Kamu benar," ucap Arya memeluk Arsli erat. Ia mengelus rambut pacarnya yang sangat Arya sayangi. Kalau bukan karena ambisi ayahnya ia tidak akan pernah mau menyuruh pacarnya ikut adil dalam permainannya.
"Kamu tenang aja, sebentar lagi permainan ini nggak akan membutuhkan kamu lagi, dan kamu bakal jadi pacar aku seutuhnya."
"Kenapa?" tanya Arsli sedikit kaget. Kalau ia sudah tidak terlibat dalam permainan Arya, berarti itu saatnya Arsli harus memilih. Dirinya bukan manusia munafik, berjalan dan melangkah bersama orang yang bukan pilihan hati. Walaupun Rakana dan Arya masi sulit untuk Arsli pilih salah satu.
Helaan napas berat terdengar. Arya bersikap manis, membuat rambut yang menghalangi pipi cantik Arsli sedikit tersingkir. Sebelum bicara, Arya mengecup sebentar kening Arsli.
"Karena aku punya rencana yang lebih manis untuk menghacurkan Rakana."
Sebisa mungkin, Arsli menampakkan seulas senyun, bukan perasaan hatinya yang merasa takut kalau akan terjadi sesuatu kepada Rakana. Ia tidak mau kalau sampai itu terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...