Rakana sedang tidak membawa kendaraan, dalam keadaan sakit menyetir saja enggan, jadinya hanya bisa menurut saat kakaknya menawarkan tumpangan.
Dengan rasa masal ia terus menunggu taksi yang tidak ada lewat-lewat. Kebetulan Rakana juga menunggu cukup jauh dari gerbang, karena takut kakaknya akan menyeretnya ke rumah sakit seperti janjinya tadi pagi.
Beberapa menit bukannya taksi yang berhenti, malah sebuah mobil hitam, hingga muncul beberapa orang berseragam hitam menghampiri Rakana. Ia hanya diam, memandang tiga orang yang turun itu dari atas sampai bawah. Rakana merasa anak buah ayahnya tidak ad yang berwajah seperti itu, dan jangan lupakan sebuah tanda dengan bros kecik di seragam mereka yang berisi nama Razela.
"Kalian siapa?" tanya Rakana dingin, tatapannya begitu waspada, sampai salah satu memberi kode, untuk menyeret Rakana masuk ke dalam mobil.
Rakana menghindar, ia ingin kabur, tetapi dengan cekatan mereka malah menahan lengan Rakana dan menancabkan sebuah jarum suntik di leher Rakana. Sontak ia tidak bisa bergerak, yang tadinya hanya lemas sekarang malah pandangannya yang menggelap, sampai ia tidak ingat apapun lagi.
***
Dalam kesunyian, Rakana yang sudah sadar lebih dari tiga jam hanya diam. Sedikitpun tidak ada usaha darinya untuk lari. Entah apa yang dipikirkan, ia tidak ada niatan untuk lari. Rakana lebih senang menunggu ajalnya yang mungkin lebih jelas.Tarikan napas pelan terdengar, ia mendongak, menatap langit-langit atap yang berlubang. Mungkin saja kalau hujan Rakana akan basah dan berakhir mati kedinginan. Rakana hanya bisa tersenyum miris, memangnya kalau benar siapa yang peduli.
Langkah kaki yang mendekat, membuat Rakana langsung menatap ke depan. Mereka sepertinya sangat senang melihat Rakana terikat di atas kursi dengan keadaan tak berdaya. Mulutnya juga dibekap menggunakan saput tangan.
"Buka ikatan dan saput tangan yang membekab mulutnya!" titahkan seorang pria yang memiliki badan gempal, tampak paling tinggi kekuasaannya di sana.
Rakana tidak melawan. Bahkan, di saat mereka menyeretnya, menyuruh Rakana bersimpuh, dengan kepalanya yang ditodong pistol.
"Apa mau kalian?" tanya Rakana mendongak, tatapannya tajam, seolah sedang menantang siapapun yang ada di depannya.
"Suruh ayahmu menyerahkan saham yang telah dia menangkan."
Rakana tertawa hambar, yang tentu langsung mengundang tanya dari mereka semua, tetapi Rakana hanya mengumpat pelan. "Bodoh!"
"Kalian salah culik, kalau gue yang kalian sekap, palingan itu cuma kotorin tangan kalian buat bunuh gue."
Mereka semua hanya semakin binggung, sampai salah seorang berbadan tak kalah besar dengan otot-otot yang menonjol datang, membawa telepon yang sepertinya sempat mereka ambil saat Rakana pingsan.
"Ini ponsel kamu?"
Rakana mengangguk, memperhatikan mereka yang langsung menyalahkan ponsel Rakana. Mengotak-atik sandinya yang hanya diberi kata sandi marga keluarnganya. Yaitu 'Razela'.
"Telepon ayahmu, dan minta apa yang apa kami suruh tadi!"
"Kalian keras kepala banget si, dibilangin dia nggak akan dengerin masi mau nyoba?" tanya Rakana yang sama sekali tidak mengambil sodoran ponsel mereka. Akan tetapi saat Rakana hendak menolak lebih keras mereka malah mengancam akan melepaskan satu tembakan, tepat mengenai kepalanya.
Rakana tak peduli, ledakan saja kepalanya sekalian, Rakana juga lelah membawa beban kepalanya yang makin hari, makin sering merasa sakit.
"Cepat! Atau aku akan mengirimkan fotomu yang mengenaskanmu kepada Asyana!"
Mengirim foto Rakana yang berlumur darah hanya akan membuat sang kakak langsung mengikuti Rakana menemui ajalnya. Karena Rakana yakin, jantung ibunya dulu tidak bertahan lagi sekarang.
Rakana pasrah, ia mengambil kasar ponsel tersebut, lalu menatap semuanya tajam. Rakana berusaha mengetik nama ayahnya, sampai terdengar nada telepon telah tersambung.
"Halo, ada apa Rakana?" tanya ayahnya yang entah kenapa terdengar sangat kwatir, tidak tau sebabnya apa.
"Rakana mau minta tolong," jawab Rakana pelan, akan tetapi malah langsung mendapat jawaban yang mengejutkan.
"Kamu selesaiin sendiri dulu ya, ayah sibuk. Kamu juga udah dewasa, bisa jaga diri, sedangkan sekarang Asyana lebih membutuhkan ayah."
"Siapa bilang hanya Asyana, Yah?" peryantaan itu keluar begitu saja. Bendungan duka mengumpul menjadi awal penuh badai, menyambar hatinya yang tidak siap mendengar ayahnya lebih mementingkan sang kakak ketimbang Rakana.
Penjahat yang muak melihat sandiwara selanjutnya langsung merebut ponsel yang Rakana bawa, melemparnya ke lantai. Rakana hanya menatapnya miris, lalu mendongak.
"Apa sudah percayah?"
"Tidak berguna," desis orang tersebut. Ia tampak murka dan langsung menyuruh anak buahnya melakukan sesuatu. Rakana pasrah, kalau memang ajalnya sampai sini.
Benar saja, mereka langsung mengikat. dirinya ke kursi, sedangkan seseorang yang mungkin bosnya mendekat dengan sebuah pisau di tangannya. "Mau dibunuh dengan cara apa?"
"Gue nggak peduli, itu urusan lo." Rakana menjawab tak ada gentar takut. Seolah apa yang sedang mereka bicarakan bukan soal kematiannya yang beberapa menit lagi.
hayo
Mau lanjutannya?
Selamat menunggu tapi
saya Juli Suciani, undur pamit dan selamat bertemu di part selanjutnya🤗💝
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...