"Arsli, kamu mau ngomong apa?" tanya Arya, menatap gadis itu dengan tatapan sayang serta lembut.
Hari ini mereka memutuskan untuk makan berdua di kafe. Sekalian akan membicarakan sesuatu yang kata Arsli sangat penting.
"Tapi sebelumnya kamu jangan marah ke Rakana soal ini ya, ini nggak ada hubungannya sama dia."
Arya langsung mengernyit dalam, apalagi seperti sedang membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan Rakana. Padahal Arsli tau, kalau Rakana baginya adalah musuh terbesar yang tak pernah pantas disebut namanya di hadapan Arya.
"Ngomong aja!" tegas Arya, dengan tatapan malas dan tidak akan siap mendengat kekasihnya membicarakan sesuatu tentang Rakana.
"Gue minta puntus."
Brak.
Arya langsung memukul meja dan menatap Arsli tajam. Ia berharap ucapan Arsli tidak benar. Namun, keseriusan gadis itu membatah segalanya.
"Ma-maafin gue." Arsli menunduk, raut wajahanya begitu ketakutan. Tetapi hari ini, ia harus menyelesaikan ini. "Gue punya rasa ke kalian sekaligus, dan hari ini gue memutuskan harus memilih salah satu."
"Dan kamu lebih milih Rakana ketimbang aku!" emosi Arya, yang sampai-sampai telah menatap tajam serta penuh amarah Arsli. "Apa alasan kamu!"
"A-aku nggak bisa jawab." Arsli buang muka, dirinya mengambil tasnya yang ada di atas meja, hendak pergi sebelum Arya melarangnya. Akan tetapi ia malah tetap dikejar oleh Arya sampai parkiran.
"Jawab!" Arya menarik tangan Arsli, memojokannya di salah satu mobil, yang kebetulan itu adalah mobi milik Arsli. "Kamu nggak bisa mutusin sesuatu tanpa alasan."
Arsli tetap menggeleng, ia mencoba membuka pintu mobil, tetapi Arya mengetahuinya dan menahan tangannya. Dengan kasar Arya juga mecengram kedua pundak Arsli. Gadis itu tentu hanya bisa meringis sakit sambil berusaha lepas.
"Kamu nggak kasi alasan, aku nggak akan pernah setuju kita putus!" ancam Arya, yang kali ini berpindah untuk mencengkram pipi Arsli, memaksanya menatap wajah Arya.
"Jawab atau Rakan lenyap."
Arsli menggeleng cepat, dirinya menatap dengan penuh linangan air mata. "Aku memilih Rakana untuk mempertanggung jawabkan hatiku, dibanding kamu yang malah meminta pasangannya sendiri main api dengan pria lain."
"Tapi aku juga minta kamu bantu, bukan malah naruh hati beneran sama dia!"
"Kamu jangan egois, hati bisa berpindah saat tempatnya sudah nyaman!
Dengan saling teriak, mereka membuat ramai parkiran, sampai ada beberapa orang sebagai penonton adegan gratis. Malam yang sunyi jadi saksi dari perdebatan hebat dua remaja tersebut, serta kata perpisahan yang terlontar entah berapa kali.
***
Rakana diam dalam ruangan gelap, yang tak lain adalah kamarnya sendiri. Akhir-akhir ini dirinya sudah jarang balapan liar karena memang sedang tidak enak badan. Pikiran dan hatinya sama-sama kacau, dibanding kalah karena itu, lebih baik dirinya menyimpan uangnya untuk taruhan yang lebih besar lagi.Ini juga menjadi hari ke-10 ayahnya tidak tinggal di rumah. Sebenarnya sama saja dan tidak ada yang berbeda dengan hidupnya, baik saat ada maupun tidak sang ayah. Mungkin lebih damai lagi kalau nenek dan kakeknya yang tidak ada.
Ada rasa ingin menenangkan diri sebenarnya, tapi anehnya saat ditelpon Arya selalu menolak panggilan. Tidak biasanya dan kalaupun hanya minum dengan beberapa temannya, Rakana hanya akur dengan Arya saja selama ini.
Rakana menghela napas, ia membuka tirai jendela, hari sudah sangat gelap dan mungkin efek tidak munculnya bulan di atas sana. "Hidup gue nggak jauh beda sama gelapnya malam ini," lirih Rakana yang tersenyum miris untuk dirinya sendiri.
Tok ... tok ... tok ....
Mendengar suara ketukan pintu, rencana Rakana untuk melihat indahnya pekat malam, jadi terhenti. Dirinya mendekat ke arah pintu dan membukannya.
"Rakana," panggil orang yang tak lain adalah Arsli. Dirinya berdiri di depan kamar Rakana dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Kamu kenapa?" tanya Rakana mendekat, dengan Arsli yang langsung memeluk tubub kurus Rakana. Bahkan, mungkin baru sekarang dirinya sadar, kalau sebenarnya tubuh Rakan sekurus itu.
"A-aku, hiks ... hiks ...." Bukannya jawaban yang di dapat, tetapi malah tangis yang makin kencang membuat Rakana tak tega. Masa bodolah dirinya dengan apa yang terjadi, ia lebih memetingkan agar Arsli tenang dulu.
***
Berbagai benda tampak di lempar, kamar yang tadinya rapi kini hancur tak berbentuk kamar lagi."Sialan lo Rakana, gue bakal balas lebih!" teriak Arya yang entah sudah berapa kali mengucapkan kalimat itu, karena kesal pada Rakana yang telah membuat Arsli meninggalkannya.
Berbagai benda yang telah berserakan serta pecah tak Arya hiraukan. Ia lebih memilih untuk ke ruangan ayahnya.
Tepat saat membuka pintu, Freszo sudah menatapnya tenang, dengan dagu ditopang oleh kedua tangan. "Sudah selesai? Atau mau lanjut mengacak ruang kerja Ayah?"
Arya menggeleng tak selera, memilih duduk di hadapan ayahnya dengan wajah ditekuk. "Males," ketusnya.
"Mau mempercepat permainan?"
"Habisin Rakana?" tanya Arya sedikit antusias, yang tentu membuat Freszo mengangguk semangat dengan penuh kelicikan.
"Caranya?"
"Bunuh berlahan dulu beberapa hari ini, baru hancurkan setelahnya. Buat dia tiada dengan rencana apapun."
"Tapi Arsli sudah berhasil Rakana dapetin seutuhnya."
"Pakai cara lain. Pikirkan, dirimu kan teman baiknya, pasti mudah bagimu membuat rencana."
Arya sempat mengangguk, dengan wajah tampak mencari solusi. Bahkan, dalam hitungan detik dirinya berhasil mendapatkan rencana. Arya langsung menatap ayahnya dengan senyum lebar penuh dendam dan ambisi.
"Sudah Ayah duga," puji Freszo yang langsung tersenyum bangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...