Part 11 ||Marah

1K 99 6
                                    

Sejak kejadian kemarin, Rakana terus diam. Rakana yang memang diantar  oleh kakaknya sama sekali tidak bicara. Jujur ia kesal, apalagi kalau sudah dipaksa begini oleh sang kakak. Rakana tidak mau sebenarnya, tapi dengan segala cara yang dikeluarkan Yafis, Rakana pasrah.

Omong-omong soal kejadian kemarin,  Yafis sudah tau yang sebenarnya, ia sampai memohon-mohon untuk dimaafkan oleh Rakana, tetapi tidak akan semudah itu, sampai kapanpun Rakana tidak pernah punya maaf sepertinya.

Melihat sekolah Rakana sudah dekat, Yafis langsung menoleh, menatap Rakana yang terus menatap kedepan. Yafis tau, diri Rakana tidak ada di dalam raganya, hanya badannya saja yang kebetulan tertinggal.

"Mau dije_

"Nggak usah, mobil gue masi di sekolah," ketus Rakana. Sedikitpun ia tak ada niatan untuk memandang kakaknya. Terlalu malas, Rakana bosan, selalu begitu, dan diam-diam Rakana ngambek soal kejadian kemarin.

Yafis sadar diri juga. Rakana mau diantar saja sudah beruntung, jadi tidak akan memaksa untuk mau dijemput lagi oleh dirinya. Bisa-bisa bukan sebuah kata pedas yang melayang, tapi tinjuan dari kekesalan Rakana. Tepat setelah Yafis menghentikan mobilnya, karena memang sudah sampai, Rakana langsung turun, tanpa berkata apapun.

Okey, Yafis sadar. Ia tidak masalah dan memang salah dirinya juga pakai sok mau cari masalah dengan Rakana. Kemarin dirinya juga harus menggunakan kesabaran itu, bukannya menambah dingding kebencian Rakana makin tebal.

Helaan napas berat terdengar. Yafis tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Mungkin sudah takdirnya seperti ini, tetapi dirinya masi akan terus berjuang.

Melihat jam di pergelangan tangannya sudah menunjukan pukul tuju, Yafis buru-buru pergi. Ia ada jadwal ngampus dan sialnya dosen kurang kerjaannya itu memilih jam setengah delapan. Yafis malas padahal untuk belajar pagi-pagi.

***
Siang Ini, Rakana memaksakan kakinya yang belum pulih untuk menggendarai kendaraan sendiri. Lagi pula siapa yang akan memanjakan dirinya. Semua orang sibuk, dan sudah melupakan Rakana di dalam hidup mereka.

Biarlah, Rakana tak masalah, kalau bisa tinggalkan Rakana terus saja. Suatu saat nanti Rakana juga tidak akan pernah terlihat lagi di dalam kehidupan mereka. Tidak perlu tangis lagi, mereka akan ikhlas, karena Rakana telah mati sejak lama.

Memikirkan hal itu secara berulang-ulang terus membuat kepala Rakana pening. Memang Rakana yang lemah, tidak seharusnya ia selalu tunduk dan membiarkan penyakitnya itu menguasai. Mungkin tidak berjuang dengan cara pengobatan yang begitu menyiksa dan menyakitkan bagi Rakana, tetapi sedikit lebih kuat menahan rasa sakitnya.

Fokus Rakana sekarang terbagi dua, dia merasa sedikit pusing dan masi memaksa menyetir. Itu tidak baik, ia tidak ingin celaka di masa muda hanya karena sok kuat. Bisa-bisa dirinya makin jadi beban dan mereka muak untuk merawat Rakana. Melihat jalanan sepi, Rakana meminggirkan mobilnya, ia berhenti lalu meraih tasnya.

Yang Rakana cari hanya obat itu. Obat yang kini Rakana pandang sinis. "Cih, sampai kapan aku harus terus bergantung padamu?"

Menyederkan sedikit badannya, menconba untuk tenang. Rakana telah menegaknya dua butir, kini tinggal menunggu obat itu bekerja. Sejujurnya Rakana juga tidak mau, menambah beban ginjalnya dengan obat sejenis itu, tetapi Rakana terpaksa, ia tidak akan bisa hidup ataupun rasa sakitnya tanpa itu.

Lama hening, Rakana mencoba menutup mata. Masa bodo dengan orang yang nanti mengiranya mati di dalam mobil. Rakana lelah, sekali saja ingin istirahat tenang. Mungkin banyak yang bertanya, kenapa tidak di rumah saja. Mendengar suara kakeknya yang selalu mengomel tentang ini itu akan membuat telinga Rakana panas. Tiada hari tanpa menghina Rakana. Pria tua itu sepertinya memang tidak pernah suka akan kehadiran Rakana.

Drrtt ....

Dering ponsel yang menandakan kalau ada panggila masuk terdengar, membuat Rakana buru-buru mengakatnya. Itu dari pengurus pantu -- bu Santi, jadi pastilah penting. Sangat jarang Ibu Santi menelpon kalau tidak ada yang penting.

"Hallo, Rak."

Nada cemas yang langsung disambut oleh telinga Rakana, membuatnya langsung duduk tegak untuk mendengarkan apa yang sedang terjadi.

"Ada apa? Ada hal yang serius?" tanya Rakana berusaha tenang.

"Gini, Rak. Apa kamu udah punya uangnya?"

Oh shit, gara-gara kemarin dirinya jatuh, Rakana belum sempat ikut balapan lagi. Rakana hanya bisa memijit pangkal hidungnya, sampai suara cemas bu Santu kembali terdengar.

"Tadi dokter bilang, Agus harus di operasi malam ini, jika tida_

"Jangan memikirkan yang tidak-tidak. Nanti malam Rakana bakal dateng bawa uangnya," potong Rakana, membawa nada kelegaan dari seberang telepon. Sebaliknya sekarang Rakana yang pusing. Harus cari uang dari mana untuk operasi. Tambahannya mungkin tinggal butuh dua puluh lima juta, bagaimana dengan biaya yang lain. Setau Rakana, setelah operasi Agus harus melakukkan kemotrapi dan rawat inap.

Rakana tidak mau bu Santi tau, kalau dirinya kini sedang pusing memikirkam biaya, jadi ia langsung mematikan sambungan teleponnya. Rakana harap ia akan menemukan solusinya, dan itu harus segera.

***
Hari berganti malam. Asya sedang istirahat di kamarnya, sambil menguspa foto kecil Rakana. Sangat manis, senyumnya yang begitu lebar ia tampakkan. Tidak seperti sekarang, hanya datar dan dingin. Dari sana Asya menyadari, sudah sejauh itukah Rakana berubah.

Hampir saja, satu tetep air mata terjatuh, mengenai foto Rakana yang sudah terbalut bingkai indah. Asya buru-buru menghampus air matanya, ia tidak ingin Rakana terkena sedikitpun kesedihan dirinya. Rakana harus selalu bahagia dan tersenyum.

"Lagi liatin foto siapa si, Dek?" tanya Yafis yang tiba-tiba masuk. Ia duduk di samping Asya. "Kok keliatannya sedih banget."

Yafis ikut mengintip, memandang foto Rakana kecil. Dirinya juga jadi sedikit sedih, menahan tangis yang mungkin saja akan lolos kalau ia sendiri. "Manis ya, sama kaya katanya waktu itu. Belum kaya sekarang, jangankan ngomong manis, sekali ngomong aja kaya lagi nusuk pedang ke jantung," kekeh Yafis dengan kehamparan yang terdengar jelas.

Asya tersenyum miris. "Udah jauh ya," lesu Asya.

Yafis mengerti kesedihan Asya. Ia langsung mengelus rambut adiknya, dan memeluknya erat. Yafis tidak bisa menahan tangisnya. Inilah duka terbesar dalam hidup Yafis, ia tidak bisa melihat Rakana yang dulu. Rakana manis yang sikapnya memang sudah tegar dari lahir. Rengekan manja yang hanya ditunjukkan kepada ibunya. Karena Rakana tau, yang peduli hanya ibunya.

"Mungkin Rakana capek," simpulkan Asya. Ia mengelus foto Rakana dengan halus.

"Cih, memalukan. Untuk apa kalian menangisi anak sialan seperti itu!"

Yafis dan Asya tersentak kaget, mereka melepaskan pelukan mereka. Sepertinya intonasi suara serta ucapan yang dikeluarkan oleh neneknya membuat mereka sedih bercampur emosi.

"Apa salah Rakana? Sampe Nenek sama kakek benci Rakana?" tanya Asya berani, menatap mata neneknya untuk menuntut penjelasan.

"Tentu karena dia anak sial dan beban keluarga!"

Asya berdiri, hendak menghampiri neneknya, menyadarkan kalau Rakana tidak seburuk itu. Rakana anak baik-baik yang patutnya dianggap sebagai mutiara keluarga. Rakana nakal? Memang, tapi itu juga karena salah mereka yang terus mengabaikan serta memberikan kata-kata yang selalu membuat Rakana down. Tetapi Yafis mengehentikannya, memberikan kode untuk Asya tetap tenang. Yafis tidak mau, penyakit Asya kambuh hanya gara-gara melawan neneknya berdebat.

"Nenek boleh ngagap Rakana begitu sekarang. Tapi suatu saat nanti Nenek pasti akan nyesel. Setelah Nenek tau, seberharga apa Rakana seharusnya di keluarga ini."

Ravines and Wounds (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang