Part 24 || Dua Jiwa Yang Telah Lama Pergi

1.1K 90 0
                                    

Tampak asap mengepul, mengelilingi wajah sesorang yang terus saja menghirup lalu menghembuskan asap yang dihasilkan oleh rokoknya tersebut. Bukannya peduli akan kesehatannya yang mungkin sangat memprihatinkan, dirinya malah abai dan membuatnya makin parah.

Asal tau saja, kanker otak bisa saja disebakan oleh benda panjang yang berbahan dasar termbakau itu. Makannya sang dokter sudah puluhan kali memperingatkan Rakana berhenti merokok, tapi sepertinya nasehat dokter masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.

"Ini hidup gue kapan ada jeda istirahatnya si? Kepala gue pusing sama beban pikiran dan penyakit sialan yang sudah laman menyiksa gue." Entah sudah berapa kali Rakana mengeluh, sambil menyesap rokok yang sudah jadi makanan pokok Rakana saat ini.

Mata Rakana memejam, ian mendongak dan menatap ke arah langit-langit. Saat ini dirinya sedang duduk di atas karpet yang ada di dalam kamarnya. Masi terngiang, sebuah kalimat panjang yang dokter lontarkan.

"Kakakmu mengalami gangguan jantung, dan ... itu sudah sangat parah sekali. Mungkin kalau tidak cepat mendapatkan jantung baru, hidupnya hanya tersisa dua bulan lagi."

"Terus apa yang bisa gue lakuin?" tanya Rakana pada dirinya sendiri, ia tersenyum miring dan mengusak kepalanya kasar.

"Sejak kapan jantung ibunya rusak dan bagaimana bisa kakaknya masi memiliki penyakit seberbahaya itu?"

Banyak pertanyaan muncul dalam kepalanya, sampai pada akhirnya Rakana menyerah. Kepalanya mendadak pusing, ia menyudahi acara merokoknya dan bergegas berdiri. Tapi ....

Bruk.

Rakana menatap kedua kakinya yang tiba-tiba mati rasa, membuatnya malah terjatuh saat mencoba berdiri. Rakana menggeleng, menormalkan pangannya, tetapi malah memburam dan menggelap.

"Arrgh." Dengan sekuat tenaga ia berusaha menahan erangan. Sungguh Rakana tidak kuat menahan denyunyat yang terus menyiksa kepalanya. Rasanya benar-benar sakit. "Ibu, Rakana pengen dijemput."

Beberapa menit bergulat dengan rasa sakit, badannya mendadak lemah, Rakana ambruk di atas karpet dengan napas kelelahan. Rakana masi merasakan sakit, tapi kali ini tubuhnya tak dapat merespon rasa sakitanya lagi, ia sudah sangat kekurangan tenaga. Berlahan pula mata kelam itu terpejam, menghilangan rasa sakit dalam tubuhnya, yang tergantikan akan kegegalapan abadi.

***
Matahari pagi telah masuk menerobos jendela, membuatnya leluasa menganggu orang yang masi terpejam dalam tidur lelapnya.

"Eugh," leguh remaja yang baru bangun malah sudah dihadiahi oleh denyutan sakit di kepalanya. Remaja itu juga sempat keherahan saat merasakan tubuhnya tidak berbaring di atas karpet lagi. Padahal terakhir kali Rakana ingat pingsan di atas karpet.

Merakan pergerakan dari seseorang, Rakana menoleh ke sampingnya. Ternyata sang Kakak--Yafis tidur di kamarnya. Berarti yang memidahkan dirinya juga Yafis.

"Huh." Rakana menghelan napas, kembali memejam saat merasakan kepalanya pusing disertai dengan mual yang mengaduk-ngaduk perutnya. Dengan berlahan Rakana menggerakan kakinya, berdoa agar tidak lumpuh seperti kata dokter kalau penyakitnya sudah parah.

Walaupun agak sempoyongan Rakana berhasil berdiri, dirinya berlahan mencoba masuk ke kamar mandi, dengan beberapa kali Rakana hampir jatuh.

Setelah berada di kamar mandi, yang memang terletak di kamarnya, terdengar suara mutahan Rakana yang amat memprihatinnya, membuat Yafis terbangun oleh itu.

Kemarin Yafis tidak bodoh, ia tau Rakana pingsan bukan ketiduran. Yafis sudah menimbang akan membawanga ke rumah sakit, tapi kalau sampai hal lancang itu Yafis lakukan, terima saja saat Rakana mengibarkan bendera perang kepadanya.

***
Dengan derap langkah penuh kehati-hatian Rakana menuruni tangga, karena kalau sampai dirinya menggeliding dari sini, maka dipastikkan sang ibu akan benar-benar menjemputnya.

Sesampainya di ujung tangga, ia melihat Yafis sudah berdiri sambil bersidekap dada, tetapi Rakana acuh dan melewatinya begitu saja.

"Mau ke mana kamu?"

Rakana akhirnya berhenti, menoleh ke belakang dan menatap kakaknya malas. "Mau sekolah lah, udah tau pake seragam rapi."

"Siapa yang ngizinin si? Kamu lagi sakit, mending masuk lagi ke kamar!" perintah kakaknya yang malah tak digubris oleh Rakana.

"Rak ...." Kali ini nada panggilan Yafis merendah, terlihat menduduk dan penuh luka. "Kamu kan tau kondisi Kakak kedua kamu kaya apa, jadi plis jangan bikin Kakak jadi seorang kakak yang gagal karena kalian berlahan melepas tangan akan eratnya pegangan Kakak."

Mendadak Rakana beku, ia masi ingat akan pernyataan dokter, yang membuatnya sampai hampir depresi.

"Kakak tau, kamu udah mengukap semuanya."

"Terus apa peduli gue?" Rakana menajamnya suaranya, membuat Yafis langsung menatap aneh.

"Kamu nggak pe_"

"Gue bukan bagian keluarga ini sejak ayah tega ngorbanin jantung ibu buat putri kesayangan, inget itu!" potong Rakana dengan nada tinggi.

"Tapi dia kakak kamu, kamu juga nggak boleh egois. Lagian ayah juga sengaja melakukannya, udah nggak ada pilihan waktu itu. Kalau dibiarkan seperti itu hanya akan membuatnya keduanya bersama pergi."

Rakana memejam sebentar, lalu Menatap kakanya kembali. "Memang sudah dua yang pergi, yaitu ibu dan jiwa gue." Tak ada balasan, membuat Rakana kembali mengucapkan kata-katanya, "dan kayaknya sebentar lagi, badan gue juga."














Huyuh, maaf banget kelupaan buat up, tapi semoga kalian masi suka sama jalan ceritanya ya dan jangan lupa komen sama bintangnya kakak. Oh iya, kalo suka jangan lupa share linknya ke teman-teman kalian💝

Ravines and Wounds (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang