Part 32 || Ending

3.4K 149 14
                                    

Hancur, sedih, tidak bisa berkata-kata, melihat pemakaman anaknya sendiri. Mungkin orang tua berpikir, nanti anaknya lah yang akan melihat dirinya dimakamkan dan didoakan, tetapi kalau itu malah sebaliknya?

Menyesal? Tentu saja, karena dirinya terlambat mengetahui siapa sebenarnya pendonor jantung untuk putrinya, di mana setelah Rakana jadi mayat baru dokter sialan itu memberi tahu.

Banyak yang berduka cita atas kematian Rakana, tetapi itu tidak berguna. Seharusnya mereka datang saat Rakana masi hidup, membuatnya berpikir ulang atas keputusannya.

Sekarang apa? Yang Yogi tau satu anaknya telah berkoban tanpa suara untuk anaknya yang lain. Yogi juga baru mengetahui, kalau anaknya menderita begitu parah selama ini.

"Maafkan, Ayah, Nak." Yogi tertunduk, sambil menaburkan bunga di atas kuburan baru anaknya. Mungkin seharusnya Yogi merasakan ini dari dulu, akan tetapi istrinya sempat mencegah.

"Jangan terlalu sedih begitu, toh anakmu yang lain selamat." Dengan entengnya ayah Yogi mengatakan itu. Pria yang sama-sama seorang ayah tetapi tidak pantas disebut begitu. Tidak ada sifat seorang ayah yang dimilikinya.

"Jangan terlalu begitu apa?! Apa Ayah tidak merasa bersalah, biang masalah dan awal mula segalanya karena ayah! Dan sekarang aku sudah bersumpah, untuk segalanya akan mendapat karma atas perbuatan masing-masing, dosa apapun yang kalian lakukkan pada Rakana akan membayar mahal, dan jangan harap bisa terhindar!" Yogi menunjuk wajah ayahnya sendiri, berkata penuh emosi serta penekanan.

Semua orang hanya bisa lanjut menangis. Bahkan, setelah melihat Yogi pergi begitu saja.

Arsli, orang yang sangat mencitai Rakana begitu terpukul atas kejadian ini, ia menangis tersedu-sedu di pelukan Arya. Tidak ada kata saling menguatkan, karena mereka sama-sama merasakan sakit atas meninggalnya Rakana.

Apakah Arya menyesal? Tentu, Arya paling merasa menyesal atas kejadian ini. Andai saja Arya jadi sahabat yang seperti Rakana anggap, maka Rakana masih hidup sekarang.

"Seharusnya aku nggak pernah percaya sama kamu Arya. Seharusnya aku ada di sisi Rakana terus, setidaknya aku nggak akan kehilangan Rakana dengan rasa penyesalan sedalam ini." Arsli memukul-mukul dada bidang Arya. Terlihat tidak ada perlawanan, hanya pasrah dan menyesal.

Bugh.

"Dan seharusnya gue sebagai Kakak selalu pisahin Rakana dari sahabat busuk kaya, lo!"

Sekali lagi Arya hanya bisa menerima, amarah Yafis  tidak salah. Selama ini Arya adalah dua puluh persen racun yang turut menghacurkan hidup Rakana.

Sepertinya belum puas, Yafis hendak memukul Arya sampai tidak berdaya, tetapi Frenszo lebih dulu datang dan pasang badan untuk anaknya.

"Kalau mau marah ke saya, dia hanya korban, sama seperti Rakana."

"Korban?" tanya Yafis menurunkan  kepalan tangannya. Mengendalikan emosi yang memuncak dengan rasa penasaran.

"Iya, di sini memang kakek kamu, Yogi, saya, dan ibumu yang salah. Sedangkan Rakana dan Arya hanyalah korban. Rakana adalah orang yang saya gunakan untuk menghacurkan Yogi, sedangkan Arya hanyalah alat yang saya selalu didik untuk menjadikan rencana saya berhasil." Tidak ada kata yang ke luar dari mulut Yafis, rasanya terlalu sulit untuk mengucap kata apa.

Kenapa dunia ini sekejam ini? Kutukan apa yang telah membuat orang-orang begitu jahat.

"Saya tau kamu marah, tapi sulit mengukapnya dengan kata-kata. Tapi yang jelas, Arya tidak salah apa-apa."

"Apa kamu berbohong untuk membela anak kamu?"

"Perlu bukti apa lagi? Arya bukan anak kandung saya, dia seorang bayi munggil yang saya pungut untuk dimanfaatkan, di tengah rasa dendam saya yang menggebu."

Bisa dibayangkan apa perasaan mereka, terutama Arya yang hanya bisa tersenyum miris. Permainan ayahnya telah berakhir, mungkin dirinya juga sudah.

Arya bangkit, memandang penuh kecewa, hendak berlalu pergi tetapi ditahan oleh ayahnya. Orang yang selama ini sangat, sangat Arya banggakan, hormati serta sayangi. Tanpa sadar bulir beningnya menetes, membuat Arya lemah serta marah secara bersamaan.

"Jangan sentuh saya! Kalau saya diselamatkan punya tujuan, maka disaat tujuan sudah berakhir saya juga akan mati!" Arya mendorong dada Frenszo, ia ingin lari, kemanapun dan hancur selamanya.

Ia tidak pernah hidup untuk hancur, jadi sekarang Arya akan mati karena hancur. Tidak peduli atas apapun kenyataan lainnya, ia akan mati dan ingat itu.

Frenszo segera memeluk tubuh putranya yang lebih kecil, menangis dibahunya sebagai seorang ayah yang tidak mau kehilangan Rakana. "Cukup Rakana, jangan kamu juga Arya, Ayah juga akan mati jika harus kehilangan dua anak dalam waktu bersamaan."

"Mangsud anda apa lagi? Ada berapa drama yang mau Ayah buat?!"

"Rakana anak Ayah." Frenszo terus mengeratkan pelukannya, membuat Arya  makin membrontak dan merasa tidak terima akan peryataan ayahnya.
Entah kerasukan apa? Dia masi saja melapalkan kata ingin mati.

Tidak memungkinkan untuk dapat penjelasan dari Frenszo, mata Yafis berpindah memandang kakeknya. Dia tau segalanya makannya masi berusaha untuk diam.

"Yafis butuh penjelasan, Kakek."

Mata kakeknya memandang Yafis, tetapi dengan tatapan tidak sanggup berkata-kata. Yafis tidak peduli, yang ia butuhkan informasi, maka Yafis terus mendesak hingga sang kakek angkat suara.

"Dulu ayah kamu dan Frenszo adalah pesaing ketat dalam dunia bisnis, sampai Frenszo yang lelah menerima kekalahan mulai bermain curang, dia menyuruh kekasihnya untuk menikahi ayah kamu, yang tidak lain adalah ibu kalian. Hasil pernikahan itu nyatanya menghasilkan dua anak, tetapi ibumu ketahuan oleh kakek. Kakek marah dan benci kepadanya, hendak mengukap segalanya tapi ibumu keburu hamil. Dia hamil dengan Frenszo, maka kebencian kakek kepada Rakana mulai tubuh dan niat menghacurkan makin dalam, sama seperti dulu kakek yang meracuni ibunya dan menyuap rumah sakit untuk memalsukan hasil tesnya."

Titik terangnya sudah ketemu, tetapi kenapa Yafis merasa makin miris? Kenapa dunia seperti ini, menciptakan takdir dengan kejutan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Belum sempat Yafis untuk komentar, melihat Arya makin mengamuk dan tidak terkendali menjadikan Yafis begitu iba. Ingatlah baik Arya maupun Rakana adalah korban, maka tidak akan Yafis menyalahkan ini kepadanya, karena nyatanya orang yang lebih dewasalahnya yang selalu bersalah.

Masi teringat kebiasaan Yafis, menaruh obat bius di semua saku celananya untuk mengancam Rakana, ia mengeluarkan botol dan jarum suntikan kecil. Banyak yang bertanya tentang apa yang ia lakukkan, tetapi Yafis tidak menjelaskan dan lebih dulu menarik tangan Arya untuk disuntikkan obat.

Arya hanya membrontak, apalagi saat mengetahui Yafis menyuntik lengan tangannya. Bukannya pingsan karena obat bius tetapi ia malah pingsan karena jarum suntik.

"Makasi," ucap Frenszo masi menopang tubuh anaknya.

"Anda punya kesempatan, jangan sampai hancur kedua kalinya. Jelaskan pelan-pelan setelah anakmu sadar."

Frenszo mengangguk. Yafis benar, maka ia akan menebus karmanya mulai sekarang, belajar dari kejadian Rakana. Dirinya pernah berbuat salah kepada anak kandungnya, dan mungkin sekarang akan memperbaikinya pada Arya. Dia mengendong Arya ala kuala, mengajaknya pergi dari tempat pemakaman.

TAMAT




Mau mengucapkan salam perpisahan? Eits tahan dulu, masi ada epilong yang spesial untuk kalian. Tapi kalo mau maki2 jangan lupa perhalus dulu katanya ya. Sampai jumpa di epilog cerita, bay2

Ravines and Wounds (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang