Part 2 || Sisi Lain

1.8K 152 58
                                    

Rakana mengira kalau sudah banyak siswa yang datang, tapi nyatanya masi sepi. Aneh, kenapa kakaknya mau mengatar sepagi ini, lagi pula kalau shift siang, jam sebelas baru berangkat. Apa kakaknya itu sengaja hanya ingin mengatar Rakana? atau memang ada urusan kuliah dulu. Rakana tidak ingin ambil pusing, ia mendudukan dirinya dengan tenang sambil bermain ponsel.

Banyak siswa berdatangan, tapi Rakana tidak acuh. dirinya tidak punya teman di kelas, makannya wajar saja kalau tidak akan ada yang datang untuk menyapa Rakana hangat. Ada satu, yaitu pacarnya, tapi sayang gadis yang memilili gelar ketua osis itu sangatlah sibuk. Beruntung Rakana adalah orang yang selalu maklum. Jujur saja, sejak masa pacaran, sekalipun tidak pernah punya waktu berdua.

Menikmati setiap suguhan yang ada di dunia maya, hanya itu yang Rakana lakukan, sampai salah satu, alias satu-satunya sahabat Rakana yang berasal dari kelas sebelah datang. Dengan wajah cerianya, ia melewati setiap tatapan siswa yang tidak dapat diartikan. Ia main nyelonong dari kelas sebelah, tanpa ada rasa malu, mungkin hal itu yang membuat seluruh siswa langsung menatapnya.

"Hay my friend, apa kabar dan sehat selalu. Semoga sehat dan damai di alam sana," ucapnya sedikit bernada, tapi langsung ditatap tajam oleh Rakana.

"Berisik!" ketusnya.

Arya Frenszo, atau lelaki yang acap dipanggil Arya itu hanya terkekeh pelan. "Mukak lo pucet mulu tau nggak, udah kaya ibu-ibu kekurangan darah abis mensturasi."

"Gara-gara alkohol," jawab Rakama seadanya, ia binggung akan menjawab apa. Hanya alasan itulah yang paling tepat dan pas. Walaupun agak nyeleneh.

"Gimana sama kakek lo?" tanya Arya tidak melanjutkan yang tadi. Tapi jawaban Rakana sudah bisa Arya tebak. Arya itu adalah sahabat peka yang tau luar dalamnya Rakana, jadi tidak akan ada yang bisa Rakana tutupi darinya. Rakana juga bersikap santai, hanya mengedikan bahunya lalu menatap ke arah lain. "kaya biasa ya?"

"Perlu gue jawab lagi?" datar Rakana. Memang selalu seperti itu, mungkin bawaan dari lahir. Arya tidak tau, mereka berteman sejak SMP dan memang sudah seperti itu. Kalaupun tidak, Arya juga nggak masalah, setiap sahabat pasti punya sifat yang berbeda kan?.

Kelas yang makin ramai, tapi dua insan yang mojok di bangku paling depan tapi ada dekat tembok malah hening, sampai deheman Arya keluarkan. "Gue ada kabar bagus ni?"

"Apa?"

"Entar malem ada balapan, taruhannya lima puluh juta. Mau lo lewatin atau terima ni?"

Rakana langsung melirik Arya. Kali ini ia menatap Arya dengan wajah sedikit antusias, walaupun yang terlihat tetaplah dinginnya. Arya sudah pasti mengerti arti dari tatapan Rakana, jadi ia langsung mengangguk.

"Seperti biasa, motor pasti gue yang siapin kan? Soalnya gue tau, sahabat gue yang super duper kaya nggak punya motor."

"Nggak diizinin punya." Rakana sedikit meluruskan, membenahi kata Arya tidak pernah benar dari dulu. Hanya gosip dan hoax, mungkin kebanyakan rumpi dengan ibu-ibu kompleks.

"Hehe ... iya dah." kekeh Arya, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Hening lagi, sampai seorang gadis cantik dengan rambutnya sebahu datang mendekati Rakana. Gadis yang tak lain adalah kakak Rakana datang membawakan kotak bekal plus botol minum.

"Ini Kakak bawain makanan, Kakak tau kamu suka males ke kantin, tapi di rumah juga nggak mau sarapan sebelum berangkat." Asyana meletakkan kotak bekal dan air minumnya di atas meja Rakana, dengan harap Rakana mau nerimanya.

"Peduli apa lo sama gue?" pertanyaan ketus nan menusuk hati itu kembali keluar. Entah sudah berapa kali duri layangkan dari tadi pagi, tapi pria itu tidak peduli. "Lo mati baru gue seneng! Dan nggak perlu pake perhatian kecil kaya gini."

Ravines and Wounds (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang