Lingkungan sekolah yang sudah nampak sangat sepi, ditambah dengan parkiran yang hampir tidak ada kendaraan lagi. Hanya satu, dan sepertinya Yafis kenal. Tetapi ia tak mau ambil pusing, tujuannya kemari adalah menjemput adiknya -- Asya.
Rakana kemabali tidak menjalankan tugasnya. Padahal sang ayah sudah mewanti-wanti agar Rakana mau menjaga kakaknya selama ada di sekolah. Tapi sekarang, kemana anak itu? Yang ada Asya malah menelponnya, mengatakan ia minta jemput, karena tidak menemukan Rakana di mana-mana. Yafis sudah bersumpah, kalau sampai terjadi apa-apa dengan adiknya, ia juga akan ikut membeci Rakana.
Bagi Yafis, Asya adalah adik kesayangannya, yang tidak pernah terganti. Dulu Asya lah anak kedua, seorang anak perempuan yang sudah dinanti-nanti oleh seluruh keluarga besar. Karena hampir semua keluarga Razela tidak punya anak perempuan. Dan akhirnya Asya menjadi kebanggaan keluarga, sebagai anak perempuan pertama yang lahir di sana. Tetapi semua sedih, saat mengetahui kalau Asya lahir kembar. Namun, nyawa kembarannya yang sama-sama perempuan tidak selamat. Hanya Asya yang selamat, akan tetapi dengan penyakit jantung bawaan dari lahir.
Setelah usia Asya mengijak satu tahun, tanpa sadar ibunya -- Raina mengandung lagi. Semua berharap semoga itu ada perempuan seperti Asya, tapi patah saat tau adalah anak laki-laki. Entah kenapa kakek dan neneknya juga tidak menyukai itu. Awalnya masi biasa, tidak ada yang aneh, hanya saja Rakana memang sering diperlakukan beda oleh seluruh keluarga, membuat Rakana juga hanya dekat dengan ibunya. Walaupun jarang, tapi dulu Rakana juga masih pernah ikut bermain dengan dirinya dan Asya.
Kejadian dan kejadian sering terjadi, sampai hari di mana ibu mereka meninggal. Rakana berubah, dan dirinya makin dibenci keluarga. Mungkin karena Rakana suka membuat malu, tapi kalau dibilang begitu, saat Rakana membawa piala satupun tak acuh, malah dihancurkan oleh kakenya sendiri. Sejak itu, Rakana selalu menutupi prestasinya, kalau mendapat pernghargaan hanya langsung dibawa ke kamar, sampai Yafis sendiri merasa iri. Piala Rakana begitu banyak.
Setelah menyusuri beberapa kelas, Yafis akhirnya sampai. Ia melihat adiknya tampak pucat, mengigit bibir bawahnya dengan tangan kanan menekan dadanya kuat. Yafis langsung berlari, menghampiri adiknya itu.
"Kenapa, dek. Kamu kambuh?" tanya Yafis cemas.
"Sa-sakit, Kak." ucap Asya terbata-bata. Dirinya kesakitan, karena telat minum obat. Ini sudah mau sore, makannya iya jadi telat.
Tampa babibu Yafus langsung mengakat tubuh adiknya. Ia harus segera membawa adiknya ke rumah sakit. dirinya sangat kasihan melihat adiknya dari kecil harus sudah merasakan sakit. Tubuhnya sampai ringkih dan sangat ringat.
Dengan sedikit berlari, Yafis menuju parkiran, memasukkan adiknya ke dalam mobil. Lalu memandang mobil Rakana yang masi terpakir di sana. "Kemana anak itu, dikasi tanggung jawab malah menghilang."
Idwan hendak tak hirau, tapi suara ponselnya yang berbunyi membuat langkahnya terhenti. Ia memandang lambat, ada panggilan masuk dari Rakana. Dengan kesal Yafis langsung menolak panggila itu. Ia tidak akan peduli pada Rakana, anak itu benar-benar harus tau bagaimana rasanya diabaikan saat dirinya butuh.
***
Di tempatnya Rakana menghela napas. Benar-benar tidak ada yang bisa diandalkan. Ia minta jemput sang ayah, tetapi panggilannya ditolak juga, terus bilang kalau ia sedang sibuk.Rakana yang tinggal punya pilihan kedua, malah ditolak juga tanpa penjelasan. Apa tidak ada yang mau mendengarkannya, kalau sekali-kali dirinya butuh.
Rakana sedang berada di taman rumah sakit, sedikit mendongak, menikmati angin yang sedang berhembus pelan. Sejuk, itu yang Rakana rasakan. Di saat seperti ini ia jadi binggung akan minta bantuan kepada siapa. Tadi yang membawanya ke rumah sakit adalah Idwan, ia mau bertanggung jawab atas kecelakaan yang Rakana alami. Tetapi setelah itu ia langsung kembali ke sekolah lagi.
Rakana ingin meminta bantuan Arya, tapi ia tau, sahabatnya itu pasti lelah menolong Rakana terus-menerus, dirinya juga jadi tidak enak hati. Rakana menunduk, merasakan pusing kembali menderanya. Sialnya Rakana tidak bawa obat, tasnya juga ada di sekolah.
Sebisa mungkin Rakana menahan rasa sakitanya. Ia menjambak sedikit rambutnya. Rakana selaku tersiksa saat sakit kepalanya sudah datang. Kenapa sakit sialan itu harus ada dalam hidupnya. Ini mungkin salah Rakana juga, dirinya tidak pernah mau mengobatinnya.
Keringat dingin sudah bercucuran, sungguh rasanya sakit sekali. Puluhan kali Rakana merasa tidak sanggup lagi, ingin menyerahkan kesadarannya pada alam kematian sekalipun kalaupun bisa. Rasa sakit batinnya sudah terlalu banyak, tetapi melihat tanggung jawabnya pada anak-anak panti, Rakana selalu urung. Ia ingin berjuang sedikit lebih lama lagi, setidaknya sampai seseorang bisa mengurus panti itu dengan baik.
"Permisi, kau kenapa?" Rakana bisa merasakan, tepukan halus mendarap di pundaknya. Hingga dengan sekuat tenaga, Rakana mampu mengendalikan pusingnya, memasang wajah datar seolah tidak terjadi apa-apa.
"Kau siapa?" tanya Rakana, memandang suster cantik dan muda itu dari atas sampai bawah, hingga senyum suster itu mampu membuatnya tertegun.
"Kenalin saya Aira."
Rakana makin terdiam, nama itu sama seperti nama ibunya. Hal itu membuat Rakana langsung memandang gadis itu tanpa berkedip. Tetapi itu tidaklah lama, tiba-tiba pandangan Rakana memburam, ia tidak bisa mengendalikan lagi rasa pusingnya.
Aira yang melihat itu tentu kaget, ia menyetuh pundak pemuda itu. "Anda sakit, jadi mari saya antar ke dalam," ajak suster itu, tapi Rakana langsung menepisnya.
"Tidak perlu," ketus Rakana langsung berdiri, ia hendak meninggalkan tempat itu dibanding harus berurusan lebih lama dengan rumah sakit. Tidak apa ia harus jalan kaki ke rumah, karena uang dan dompetnya juga tertinggal di sekolah.
Rakana lupa, kakinya baru saja selesai di obati karena sedikit keseleo, malah langsung mengjikannya begitu saja. Alhasil Rakana langsung oleng, ditambah dengan pengelihatannya selalu memburam, seolah mau merengut kesadarannya sebentar. Suster Aira yang sigap langsung kembali mendudukan Rakana di kursi.
"Anda tidak baik-baik saja, jadi sebaiknya mari kita periksa," ajak suster itu, masih dengan sabar, akan tetapi Rakana menolak.
"Saya tidak akan mati, jadi tenang saja, dan tolong tinggalkan saya sendiri," sarkas Rakana. Membuat Aira langsung terdiam. Namun, langkah gadis itu sedikitpun tidak berpindah dari sisi Rakana. Ia bimbang akan meninggalkan Rakana dalam keadaan seperti itu atau tidak.
"Mbak suster, nggak apa-apa, tinggalin aja, biar saya yang urus temen saya yang emang agak sedikit sensi." Arya tiba-tiba datang, ia berniat untuk menjemput Rakana. Karena dirinya tau, tas dan semua barang-barangnya masi tersimpan di kelas, kecuali ponsel. Jadi Rakana pasti akan binggung mau pulang dengan cara apa.
Suster itu akhirnya pamit pergi, sedangkan Arya duduk di samping Rakana, menyerahkan tas ke sang pemilik. Rakana tentu senang, ia kembali mendapatkan tasnya.
Dengan jari-jari kurusnya, yang nampak sedikit tidak terawat, ia langsung mengobrak-abrik isi dari tasnya. Mencari benda berbentuk tabung, yang di dalamnya penuh berisi obat.
Arya hanya diam, pandangannya tak lepas dari Rakana. Remaja itu tampak mengambil dua butir pil, lalu menelannya tanpa bantuan apapun.
Setelah melihat Rakana sedikit tenangan, Arya baru berani bertanya. "Itu obat apa?"
"Cuma obat sakit kepala biasa," santai Rakana memasukkan kembali obatanya. Arya hanya percaya, ia malas bertanya lebih, kalau tidak ada hubungannya dengan misi balas dendamnya. Ia juga jadi kesal, gara-gara Rakana jatuh, dirinya tidak berhasil mencelakai Rakana malam ini. Padahal ia sudah punya ide yang sangat bagus.
Hayuk bantu vote sama komen, terua rekomendasiin ke temen-temen kalian. Sampe ketemu besok lagi😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...