Rakana terdiam, membuat Arya dan Arsli makin ketakutan. Takut kalau sampai Rakana salah paham, yang berimbas pada hubungan masing-masing yang akan putus.
"Ra ...." lirih Arsli dengan wajah memelas serta merasa bersalah.
"Ak_
_______
"Aku janji bakal banyak habisin waktu sama kamu, aku janji bakal mau diajak jalan. Tapi aku mohon, kamu jangan putusin aku ya," pinta Arsli, air matanya sudah meluruh, dengan isakan kecil yang terdengar pilu. Gadis itu terdengar sungguh-sunggu tidak mau kehilangan Rakana. Tetapi Rakana malah langsung memasang ekspresi kaget.
"Putus?" heran Rakana, ia mengernyit binggung. Siapa yang minta putus? Itu yang Rakana pikirkan, tapi Arsli malah makin terisak.
Helaan napas panjang terdengar, Rakana mengakat wajah mungil, hingga pandangan gadis itu mengarah pada dirinya. "Aku nggak minta putus, dan aku nggak mempermasalahkan yang tadi."
"Beneran?" tanya Arsli masi sedikit takut-takut. Tetapi Rakana langsung memberi gadis itu sebuah anggukan, membuat Arsli langsung memeluk Rakana erat. Dirinya mendapat kesempatan lagi untuk terus bersama Rakana mulai sekarang.
Arya yang dari tadi masih di sana memutuskan untuk masuk ke dalam saja. Ada sedikit tatapan aneh, tetapi langsung dialihkan dengan seular senyum kecil namun tulus.
Rakana sendiri dapat merasakan hangatnya dekapan gadis mungil yang ada di depannya, ia juga memutuskan untuk langsung membalasnya. Tangannya bermain-main di atas rambut hitam dan panjang milik Arsli. Namun, supaya tidak mengganggu, Arsli selalu mengikatnya.
"Kita jadi makan di kafe kan?" tanya Arsli yang masi nyaman berada dalam dekapan hangat Rakana.
"Kalo kamu masi sibuk, ya nggak usah," balas Rakana mengelus rambut Arsli. "Lagian siang ini aku kayaknya mau ke panti sampe sore."
Arsli mengangguk. Berlahan gadis itu melepaskan dirinya dari pelukan Rakana, membenahi bajunya yang jadi sedikit berantakan. "Tapi kamu beneran nggak marah kan?"
Rakana mengakat tangan Arsli, membuat gadis itu langsung menatap Rakana. "Enggak," balas Rakana mengusap tangan kekasihnya lembut. "Sekarang kamu yang semangat ya, kerjain semua tugas kamu di osis. Aku selalu ada buat kamu."
Senyum Arsli merekah sempurna, ia kembali memeluk Rakana tanpa malu kalau sudah jadi tontotan siswa lain.
***
Seperti rencananya, Rakana yang akan mengujungi panti akhirnya datang, membawa begitu banyak makanan ringan maupun berat, ia juga membawa mainan untuk anak-anak. Beginilah Rakana, tidak terlalu baik memang, apalagi dengan perkataannya yang begiti tajam selama ini. Tetapi percayalah, tersimpan hati seorang malalaikat juga dalam diri Rakana.Tepat setelah mobil Rakana terpakir dengan benar, Rakana langsung turun, menatap rumah panti yang cukup besar. Bisa menampung sekitar dua puluh anak-anak. Panti ini merupakan peninggalan ibunya, yang tidak terurus setelah sang ibu meninggal, tetapi Rakana tidak ingin peninggalan sang ibu terbengkai. Diusia Rakana yang kesebelas tahun, Rakana memutuskan untuk mengambil alih, dirinya melanjutkan tujuan dari panti untuk merawat dan mengobati anak-anak penderita kanker, tetapi sudah tidak memiliki orang tua.
Niat ibunya begitu mulia, jadi dari sana Rakana berharap, agar kebaikannya yang dilajut, sang Ibu akan mendapatkan surga-Nya nanti.
Senyum kecil terulas di pipi mulus Rakana, dikala anak-anak langsung berlari, menyambut kedatangannya dengan senyum-senyum begitu lebar, seolah tidak ada beban. Padahal rasa takut, sakit, sedih, dan tersiksa dengan sakit yang sedang mereka derita, apalagi saat mengingat, salah satu dari mereka sudah tidak bisa berjalan, ataupun melihat, karena penyakit yang telah merenggut semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...