Part 14 || Kebusukan Keluarga Rakana

1.2K 103 20
                                    

Sudah tiga hari Rakana menghilang dari rumah, dan ini tidak wajar menurut keluarganya. Rakana mungkin nakal, tetapi untuk menghilang selama tiga hari, itu sangat-sangat tidak mungkin.

Anto sendiri sampai pusing, ia memang selalu punya kata-kata pedas untuk Rakana, tetapi kalau sudah hilang begini, dirinya juga takut. Ia tidak ingin cucunya itu diculik. terlebih Anto tau bagaimana sikap Yogi, kalau nanti ada peculik yang minta tukar harta dengan anaknya, dia pasti mau. Itu bukanlah hal yang bagus, terkecuali nanti Rakana mati karena celaka, ia tidak akan peduli lebih.

"Aku sudah menyebar anak buahku di seluruh kota, tapi tidak ketemu," lesu Yogi. Ia sampai tidak berkerja dua hari ini. Ia takut tidak bisa menjaga amanah almarhum istrinya.

Kenanangan masa lalu selalu mengusik hidup Yogi dikala melihat Rakana. Seberapa kuatpun Yogi menahannya, ia tidak sanggup. Bayang wajah istrinya ada pada Rakana. Karena itu, Yogi tidak pernah bisa dekat dengan Rakana lagi. Tetapi ia tidak berhenti berharap, agar saudara-saudara Rakana bisa menggatikan posisinya sementara. Supaya nenek kakeknya menyangi Rakana lebih, tetapi apa daya, nenek, kakeknya sendiri malah menjadi orang pertama yang selalu melempar belati kepada Rakana.

"Aku juga udah cari keseluruh rumah temennya, tapi nggak ada." Yafis ikut merasa bersalah. Andai waktu Rakana pergi sore itu, ia menghentikannya, dengan alasan kakinya masi sakit jadi tidak boleh keluar. Tetapi itu hanya angan.

Asya yang sendari tadi mendengarkam keluhan orang-orang sana ikut kwatir. Apa kali ini dirinya akan kehilangan Rakana, kalau iya, Asya akan ikut menyusul, itu pasti.

Di tengah kebinggungan dan kecemasan, tiba-tiba salah satu anak buah Yogi datang. Dengan langkah tegapnya, ia langsung menghadap sang tuan.

"Ada apa? Apa kau sudah menemukan Rakana?" tanya Yogi, memandang dengan penuh harap, hingga anggukan yang ia dapatkan.

"Tuan Rakana sedang berada di rumah sakit. Meburut info dia sedang menjaga anak panti."

"Anak panti?" tanya Yogi binggung. Tapi seingatnya dulu sang istri punya anak panti, dan apakah selama ini ....

Tiba-tiba senyum bangga muncul dari wajah paruh baya Yogi. Dirinya tidak menyangka, hati anak itu semulia itu. Yogi yang melihat semua orang menatapnya binggung langsung tersenyum kecil.

"Anak itu baik-baik saja, ia hanya sedang merawat anak panti."

"Anak panti?!" tanya mereka kompak. Raut wajahnya sama persis seperti dirinya tadi, mereka hampir tidak percaya sama sekali.

"Apa panti milik ibu?" tanya Yafis, dan  dibalas anggukan oleh anak buah ayahnya. "Menurut informasi yang saya terima seperti itu."

"Udah, jadi kita tenang dulu ya. Ayah mau kerumah sakit sebentar." izin Yogi terburu-buru. Ia sudah tidak sabar melihat keadaan anaknya.

"Yah, Asya ikut."

"Yafis juga."

Yogi mengangguk, Yogi membawa anak-anaknya kedalam pelukannya, lalu berjalan beriringan. Benar-benar keluarga yang bahagia dan harmonis, dimana ayah dan anak selalu kompak, itulah yang Anto pikirkan.

"Apa yang kau pikirkan, Anto?" tanya Aira, mendekati suaminya.

"Kau pasti sudah tau," ucap Anto tersenyum sinis. Anto kembali duduk di sofa, sambil menyeruput kopi hitamnya dengan tenang.

"Kapan kau menghabisi Rakana? Seperti ibunya dulu."

"Secepatnya," balas Anto, "Ajal anak itu sudah dekat, sama seperti ibunya dulu. Siapa suruh mereka berkhianat."

"Bukan mereka, tapi Raina. Namun, mau bagaimanapun, Rakana terlahir karena permainan kotor Raina, jadi anaknya itu juga harus lenyap."

Anto tersenyum sinis, memandang lurus ke depan. "Itu harus, memanglah harus."

***
Rakana duduk di taman rumah sakit, ia sadar kalau seseorang sedang mengawasinya sejak semalam. Rakana yakin, itu adalah anak buah ayahnya. Rakana malas, makannya selama ini ia tidak pernah memilih menghilang, kemabapun pergi atau nenghilang pasti akan ditemukan. Ayahnya terlalu cerdik.

Sebenarnya Rakana sedikit senang, setidaknya mereka peduli. Tetapi tetap saja, musuh di dalan selimut kini juga akan semakin gencar untuk menyusun rencana licik. Mereka saja yang tidak tau, kalau Rakana hanya pura-pura tidak tau kepicikan mereka. Lagi pula, tujuh belas tahun, itu bukan waktu yang singkat diberikan oleh tuhan kepada Rakana untuk menikmati hidupnya. Tujuh belas tahun Rakana diberikan waktu menghirup udara segar, itu sudah sangat cukup dan Rakana puas.

Seiring waktu, matahari kian tambah terik, itu membuat kulit Rakana jadi terasa terbakar. Rakana bukannya lemah, tetapi ia memang tidak terlalu suka dengan matahari yang teralalu menyengat. Rakana berdiri dari duduknya, hendak berpindah tempat saja.

Rakana melewati satu persatu kamar rumah sakit, yang terletak di lorong. Agus memang belum dipindahkan ke ruang rawat, keadaannya koma, tidak ada kemajuan. Bahkan, harapannya yang tadi tinggal sepuluh persen, kita tertinggal satu persen saja.

Dokter sendiri tadi pagi menyarankan, untuk membiarkan bocah itu menyerah saja, tetapi Rakana tidak setuju. Anak itu harus berjuang sedikit lagi, ia harus pulih dan cepat sembuh. Rakana tidak akan peduli, jika nanti ia harus dituntut dengan biaya yang lebih besar dari pihak rumah sakit, organ tubuhnya pun akan Rakana jual demi anak-anak panti.

Langkah Rakana tinggal beberapa langkah, tapi di sana, Rakana sudah melihat ayah dan kedua kakaknya bediri di depan ICU, menunggu kehadirannya. Rakana malas, jadi putar arah saja. Lebih baik duduk diam di taman sampai kulitnya terbakar, dibanding Rakana harus menemui mereka.

Yogi tidak diam saja, ia mengejar anaknya itu hingga mereka kembali ke taman. Rakana menyerah, ia berhenti dan duduk di salah satu kursi yang terdapat di depan ruangan pasien.

"Ada apa?" datar Rakana. Yogi ikut duduk, memandang ke arah taman rumah sakit berada.

"Apa kabar?"

"Basi!" cerca Rakana, ia kembali berdiri tapi kali ini langsung di tahan, hingga Rakana duduk kembali.

"Bu Santi bilang, kamu habis jatuh, terus Yafis juga sempet cerita, kalo beberapa hari lalu kaki kamu keseleo. Makannya Ayah nanya kaya gitu."

"Ngapain nanya, kalo udah bisa liat sendiri Rakana masi hidup," sarkas Rakan. "Kalo udah nggak ada yang ditanyain, mending pergi!"

Yogi menghela napas sabar. Tidak pernah Yogi menghadapi orang seperti Rakana. Dingin, cuek, sekali bicara kata-katanya tajam dan sarkas.

"Ada apa? Kalo kesel mending pergi!" usir Rakana yang jadi sedikit emosi.

Yogi menutup mata sebentar, sebelum pada akhirnya ia kembali bicara, "besok-besok kalo ada maslah cerita sama Ayah, ya," suruh Yogi lembut, "Ayah janji setelah ini, kamu nggak akan kesusahan kaya sekarang."

"Hem."

"Terus mulai sekarang kamu harus berhenti balapan motor. Bisa diliat kemarin kamu hampir celaka."

"Ayah jangan sok perhatian sama Rakana. Nyuruh Rakana ini itu, tapi pada akhirnya dipatahin juga kan?" Rakana berdiri, dengan Yogi yang tidak bisa menahannya lagi. "Dan dengan bodohnya Rakana percaya. Itu buat hati Rakana makin hancur, tau nggak!"

"Rak ...."

"Udah Rakana muak, kalian semua sama aja. Lebih seneng di saat Rakana mati berlahan karna ngebatin dibanding kena belati."

Yogi diam, kalah telak sekaligus tidak mampu menyauti kata-kata Rakana yang terdengar begitu miris. Rakaka juga tidak peduli, jadi ia langsung melenggang pergi begitu saja.

Ravines and Wounds (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang