Part 21 || Pergi

1K 86 0
                                    

Rakana pulang, dalam keadaan letih. Bagaimana tidak, bertarung dengan penjahat yang nyatanya ada lebih dari dua puluh orang hanya dengan Arya saja, benar-benar menguras tenaga. Terlebih entah kenapa pria itu nekat, membuat Rakana takut sampai membuat teman-temannya yang ikut terlibat malah terluka.

Di rumah yang sepertinya tidak ada orang, akan tetapi tebakan Rakana salah, Yogi ada di rumah, lebih tepatnya di dalam kamar Rakana. Ia menatap Rakana dengan mata penuh akan rasa bersalah.

"Ngapain Ayah di sini?" sinis Rakana, menatap ayahnya penuh benci dan amarah. "Ayah mau siap-siap buang barang Rakana, karena Ayah ngira Rakana udah mati?"

Yogi tersentak, ia mendekati Rakana, dan hendak menyetuh pundaknya, tetapi dengan cepat kilat, anak itu langsung menepisnya dengan kasar. "Jangan sentuh Rakana sekarang, sentuh aja pas Rakana udah jadi mayat!"

"Rakana! Stop kamu ngomong kaya gitu, Ayah sakit dengernya. Kamu anak Ayah, plis nurut dan kembali seperti dulu."

"Anak Ayah?" Rakana menunjukkan getar luka, dibalik senyum penuh ketirnya. "Sejak kapan anak yang nyusahin ini, dianggap anak oleh tuan Yogi?"

Setajam apapun pisau, tak akan ada yang pernah tau, semenyakitkan apa kata-kata Yogi saat didengar oleh Rakana. Baginya itu hanya omong kosong, sebuah kalimat tak bernyawa yang akan hilang dihempas angin. Mau sampai kapanpun, itu hanya kata tanpa gerak. Rakana sendiri sudah sering membutikan, menuntut hati untuk percaya, tetapi hasilnya adalah luka dan kencewa.

Tanpa melanjutnya, Rakana berjalan melewati Yogi, ia duduk di pinggiran kasur. "Seorang Ayah adalah pahwalan bagi anaknya. Ia akan selalu membantu sang anak saat ada masalah, menjadi seorang pahlawan penuh akan kekuatan saat anaknya dalam bahaya, tetapi Ayah Rakana nggak kaya gitu. Jadi apa masi pantas Tuan Yogi ini Rakana Anggap Ayah? Ataupun sebaliknya?"

"Ra_"

"Jadi di mana Ayah saat Rakana butuh? Di mana Ayah saat Rakana hampir mati? Di mana Ayah saat Rakana butuh sosok itu? Di mana Ayah saat Rakana ingin ada Ayah di samping Rakana? Dan yang terakhir, di mana hati Ayah yang katanya sayang anaknya?!" Rakana yang memotong ucapan juga berbicara penuh penekanan. Matanya menyorot luka, yang hanya bisa dilihat oleh orang tertentu saja, karena kalau tidak, mereka hanya akan melihat sorot tajam saja.

Yogi dan Rakana hanya saling pandang saja, satu dengan tatapan tajam dan satunya lagi rasa bersalah. Pria itu sampai menganggaruk kepalanya kasar, menunduk dalam karena tak ada jawaban untuk semua pertanyaan Rakana. Ia tau kebencian Rakana menjadi-jadi, hanya karena ia menolak permintaan tolong Rakana dan lebih memilih menjaga anak perempuannya yang sedang kambuh. Bahkan, yogi lupa bertanya, Rakana minta bantuan untuk apa.

"Ayah harus belajar adil, karena suatu saat nanti akan ada pilihan berat, di mana satu anak akan hilang nyawanya. Kalau sekarang aja begini, bisa saja ayah akan benar-benar kehilangan satu karena egois lagi." Rakana berdiri, ia melirik Yogi, dan tersenyum kecut. "Mungkin ini pertemuan terakhir kita, dalam keadaan aku masi hidup."

"Jangan pernah menyesal pernah  punya istri kaya ibu. Dia emang penghianat, bahkan sampai melahirkan anak dari orang yang sangat ingin menghacurkan keluarga Ayah. Rakana juga selalu sadar, kita nggak sedarah, dan sudah sepatutnya begini. Kalian benci Rakana, itu pasti. Ayah nggak bisa ada buat Rakana, bukan karna mirip ibu, tapi kerena darah Rakana mengalir musuh Ayah. Lambat laun, kebenaran ini akan terbongkar, di saat itu juga, Rakana akan mengukap semuanya, termasuk pada ayah kandung Rakana. Tapi di detik ini dan seterusnya, anda tetep Ayah Rakana."

Rakana menghela napas, ia tersenyum penuh arti. "Ayah pergi aja sekarang ke Bandung, nanti kita ketemu lagi, mungkin ungkap semuanya sekalian."

Yogi hanya bisa mengangguk pasrah. Ia pergi, entah dengan hati terluka atau hati terenyuh. Apa yang selama ini dirinya rasakan dan sembunyikan Rakana tau. Mungkin termasuk siapa sebenarnya ayah kandung Rakana.

***
Di ruang makan, hanya ada Yafis, Asya, sedangkan kakek dan nenek mereka sedang keluar sebentar. Serta Rakana yang tampaknya masi enggan menyentuh meja makan, untuk berkumpul dengan mereka.

Selesai makan, mereka semua tetap duduk. Karena hari ini ada yang Yogi mau sampaikan. Dengan tenang dua orang itu langsung menunggu Yogi angkat suara.

"Ayah boleh bilang sekarang?"

Dua orang yang ada di meja langsung mengangguk antusias. "Boleh kok, Yah."

"Kayaknya dua bulan ke depan Ayah akan tinggal di Bandung. Bisnis yang ayah jalani di sana, hampir hancur, karena korupsi dan kurang pengawasan. Kalian nggak apa-apa kan, kalau Ayah tinggal?"

Yafis dan Asya sempat saling pandang, sebelum pada akhirnya Asya duluan yang angkat suara, "Ayah pergi aja, yang semangat kerjanya."

"Nah bener, nanti kalau bisa, biar aku sama Asya yang nyusul. Kan liburan sebentar lagi," timpal Yafis, yang tentu membuat Yogi senang dan mengusak rambut putrinya.

"Ayah pergi besok, kalian jaga diri baik-baik, ya!"

"Siap!" kompak dua anak Yogi, membalas penuh semangat serta senyum lebar.

"Eh, tapi Ayah udah izin sama Rakana kan?" tanya Yafis, yang baru sadar, kalau anak itu tidak ada di meja maka. Namun, saat melihat ayahnya langsung bersedih, Yafis hanya mampu terdiam, menunggu kalimat ayahnya meluncur.

"Dia udah tau," balas Yogi lesu, tatapan matanya diarahkan pada piring bekas makannya. "Kalian tolong jaga Rakana ya, dia nggak boleh kenapa-napa pas Ayah pulang. Ayah ingin memperbaiki semuanya, dan kali ini nggak akan kaya dulu yang selalu gagal."






Udah nyesek belum, eh nggak tau ya, soalnya feel di author pribadi dapet. Semoga kalian semua terhibur dan suka. Hem ... kira-kira apa si yang nanti terjadi sama Rakana? Eh terus2 ayah Rakana sebenarnya siapa dong? Apa yang dimangsud dengan ayahnya yang egois? Dan apa yang terjadi di masa lalu?

Nah jawaban akan terboangkar satu-satu, jangan vote, komen, dan share ke temen-temen kalian💝

Ravines and Wounds (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang