Tidak ada yang berubah, bahkan setelah kejadian di mana Rakana menghilang tiga hari lamanya. Janji ayahnya hanya kosong, bagai angin bertiup dan berlalu bergitu saja. Rakana sudah menebaknya, lebih memilih tidak percaya dibanding makan harap.
Pagi yang sudah cukup siang. Mungkin Rakana kelelahan, makannya ia bangun agak telat pagi ini. Rakana yang berjalan santai menuju kelas, berhenti mendadak saat pacarnya menghadang. Rakana mengakat sebelah alisnya, dengan raut wajah bertanya.
"Aku kangen," ucap Arsli dengan wajah polos, matanya memelas yang membuat Rakana gemas. Oh Tuhan, sejak kapan gadis ini bisa bersikap manis kepada dirinya.
"Aku juga," singkat Rakana, membawa Arsli kedalam dekapan hangatnya. Tentu hal itu membuat keduanya nyaman.
"Mau digendong sampe kelas, nggak?" bisik Rakana, tapi Arsli langsung memukul dada bidang Rakana.
"Malu tau, masak ketua os_"
Ucapan Arsli terpotong, saat merasakan badannya terangkat dengan begitu mudahnya. Rakana yang usil langsung megedong Arsli ala koala, dengan Arsli yang hanya pasrah, dan mengalungkan tangannya di leher Rakana.
"Mau main berapa ronde?" tanya Arsli nakal, tapi Rakana langsung memasang senyum kejut.
"Serius nggak ni?" pancing Rakana, "nanti ada apa-apa, kamu teriak lagi di depan rumah aku suruh tanggung jawab."
"Iya, dong. Supaya kamu milikin aku selamanya."
Rakana tidak menjawab, ia hanya tersenyum kecil, lalu melangkahkan kakinya menuju taman. Berduaan di sana dengan gaya romantis akan membuat mood siswa jomblo hancur. Rakana paham itu, kebanyakan sok jomblo padahal pengen.
Sesampainya di taman, Rakana langsung menurukan Arsli, mendudukannya di kursi.
"Loh kok ke taman, katanya mau main," protes Arsli.
"Kaya kamu siap aja," ledek Rakana, yang membuat Arsli memasang wajah cemberut. Rakana tidak membiarkannya, dengan halus ia mengusapnya. "Aku nggak akan ngerusak kamu, sebelum kita nikah."
"Lagian seumur hidup, aku juga nggak pernah main." Rakana tertawa kecil, duduk di samping Arsli. Gadis itu tampak manja hari ini, bahkan tampa ragu ia memeluk tangan Rakana erat, menyenderkan kepalanya di bahu Rakana.
Mereka menikmatinya, tetapi tidak dengan orang yang mengintip mereka sendari tadi. Hatinya terbakar api cemburu. Ia tidak bertidak, hanya bisa mengepalkan tangannya kuat-kuat.
***
Suasan hening menguasai, setelah seberapa detik Rakana berdiam diri di dalam mobil. Ia mau keluar dan menjenguk Agus, tetapi tiba-tiba kepalanya pening. Anehnya pandangan Rakana juga kabur, kakinya kalau diangkat malah mati rasa. Apakah Rakana akan lumpuh sekarang, Rakana harap tidak dulu, masi ada tugasnya yang belum selesai.Beristirahat sebentar mungkin adalah pilihan yang terbaik, sambil menunggu obatnya berkerja. Rakana ingin segera turun sebenarnya, karna perasaannya mendadak tidak enak. Ia juga tidak boleh berdiam diri terlalu lama di mobil, takutnya ada orang yang curiga.
Baru saja satu kakinya menginjak tanah, ponselnya tiba-tina terasa bergetar. Rakana buru-buru turun, mencari tempat teduh untuk mengakat telepon tersebut.
"Halo, ada apa, Bu sinta?" tanya Rakana cemas, kalau sudah penting pasti menelpon, kebiasaan yang membuat Rakana takut setiap kali ada telepon dari Bu Sinta.
"Nak kamu ada di mana, bisa cepat keruang ICU, nggak?"
"Ini Rakana sudah di rumah sakit. Tunggu sebentar, ya." Rakana langsung mematikan ponselnya.
"Apa mungkin," batin Rakana, pandangannya lurus pada pintu rumah sakit yang terbuat dari kaca itu. Rakana tidak bisa mengulur waktu, jadi ia menepis pikiran buruknya, lau berlari menuju ruang ICU. Dari lobi rumah sakit ke ruang ICU tidaklah jauh, ditambah dengan Rakana yang berlari membuatnya sampai secepat kilat.
Bu Sinta tampak menunduk lesu, duduk di antara kursi ruang tunggu dengan kedua tangan saling bertaut. Sangat jelas kalau bu Sinta sedang sedih. Berat memang, tetapi Rakana tetap melangkah maju, kini ia tau, apa yang sedang terjadi di dalam.
Berdiri mematung, tidak ada suara yang dapat keluar. Jangankan untuk bertanya, menegur saja Rakana rasanya tidak punya nyali. Takut kalau jawabannya memang benar itu.
Ceklek.
Pintu ICU yang terbuat dari kaca itu terbuka, menampilkan seorang dokter dengan penampilan acak-acakan menunuduk dalam. "Maaf, nyawa Agus tidak bisa diselamatkan."
Rakana memejamkan matanya kuat. Dunia seolah senyap. Tidak ada langkah kaki manusia yang tertangkap, hanya bendungan duka yang terkumpul dalam jiwa. Rakana gagal, usahanya sia-sia. Sang empu terlanjur lelah dan memilih untuk berpulang.
Tatapan Rakana yang sangat sendu mengangguk pada sang dokter. Membuat dokter itu langsung berpamitan pergi. Isakan bu Santi dapat Rakana dengar, wanita paruh baya itu nampak sangat terpukul. Ini bukan yang pertama, kedua ataupun yang ketiga, akan tetapi sudah sering kali. Memang pada dasarnya kehilangan selalu sakit, tanpa peduli berapa kali kita terlatih akan hal itu.
Rakana tidak bisa selalu ikut diam, iya akhirnya bersuara, "kita akan siapkan pemakaman Agus sore ini."
***
Bunga kamboja berguguran. Yang dikatakan sebagai bunga kuburan. Bukan karena seram, akan tetapi karna hanya bunga itu yang jatuh sebelum layu. Satu persatu bunganya mengrmbang lalu rontok, tepat jatuh di atas makam.Tanah yang masi baru, dengan taburan kembang tujuh rupa yang segar. Tangis kesedihan sebagai pengantar nyawa dan kembalinya raga ke dalam tanah. Sedih akan sosoknya yang tak akan bisa ditemui lagi, membuat air matanya yang sendari awal tertahan dipelupuk mata akhirnya jatuh.
Semua telah berjuang, tapi kehendak takdir selalu berkata lain. Ini akan selalu jadi pelajaran bagi Rakana. Hidup itu singkat, tanpa disadari, satu tarikan napas saja nyawamu sudah berakahir. Abdimu kepada dunia telah usai, tugasmu atas perintah-Nya tak perlu dilanjutkan lagi. Beristirahat dengan tenang nan damai, dijemput pulang kembali kerumah-Nya.
Tidak ada tetes air mata yang keluar , hanya sesak di dada. Di sana tidak hanya ada anak panti dan pengurusnya, tetapi teman Rakana, dan keluarganya. Rakana tidak habis pikir, untuk apa mereka datang kemari. Rakana berusaha melewatinya begitu saja, tidak bertegur sapa seperti orang asing.
"Rakana ...." panggil Yogi lembut, ia menghampiri Rakana yang berhenti. Berusaha menyetuhnya, tapi langsung di tepis oleh Rakana dengan tatapan tajam.
"Mau apa ayah ke sini?" datar Rakana, tetapi saat Yogi hendak menjawab, Rakana kembali memotong. "Yang kalian inginkan Rakana seperti Agus kan? Menyerah karna lelah."
Yogi berusaha mengelak dengan gelengan keras, air matanya hampir tumpah, akan tetapi ia tetap terlihat tegar di depan anaknya.
"Ini masi pemakaman Agus, bukan aku. Tunggu saja waktunya nanti, maka yang kalian lihat adalah pemakamanku."
Yogi mendongak, tetapi Rakana tak acuh dan langsung melenggang pergi. Kenapa untuk dekat dengan Rakana sesusah itu. Yogi hanya harap istrinya tidak marah dan mengajak Rakana pergi. Yogi tidak akan sanggup, bisa-bisa ia gila kalau ditinggal Rakana. Karena rasa bersalahnya kepada Rakana lebih besar dari apapun.
Tisu tolong tisu, itu si Rakana mau berduka, mau seneng, mulutnya minta disumpel pake handuk kayaknya ya. Tajem kek silet mata tiga🤧
Okey kalo suka jangan lupa vote, kome dan share. Banyak banget yang baca tapi nggak ninggalin jejak sama sekali, kasian authornya dong🤧.
Okey sampai jumpa di part Rakana yang selanjutnya, bay2.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...