Part 26 || Menunggu Jawaban Semesta

1.1K 88 12
                                    

Entah sudah berapa kali Rakana merutuki kebodohannya hari ini. Bagaimana tidak, ia sama sekali tidak mengingat di mana letak kunci
mobilnya. Padahal seingatnya kemarin ia bawa mobil.

Rakana yang sudah lelah mengecak ke mobil dan ke kamar mencoba mencari ke ruangan lain. Dirinya juga sudah bertanya pada pembantu, tapi tidak ada yang tau.

"Sial gue udah mau telat, kunci sebesar itu, ke mana si perginya." Rakana terus mengoceh dengan rasa kesal. Karena belum juga menemukan kuncinya.

"Cari apa, Dek?" tanya Yafis yang sudah pusing sebenarnya, hanya memperhatikan Rakana seperti anak ayam kehilangan induknya.

Rakana tidak menyahut, ia tidak suka panggilan Yafis. Sekalipun dirinya butuh, tak akan mau Rakana dipanggil seperti itu.

"Hem ... mau nyari apa si?"

"Kunci mobil."

Rakana akhirnya menjawab, membuat Yafis hanya menghela napas kecil. Kalau punya kesalahan dengan Rakana harus diingat-ingat dulu sepertinya, kalau tidak begitu, Rakana hanya diam tak bersuara.

"Ini," jawab Yafis yang memegang kunci mobil Rakana. "Tadi malam satpam kasi. Kok tumben kamu pelupa gitu si?"

"Gue telat, jangan banyak tanya." Rakana menyambar kunci yang ada di tangan Yafis. Tak peduli akan apapun ia juga langsung pergi, meninggalkan Yafis dengan perasaan campur aduk.

***
Di sekolah, Rakana sedang duduk di taman belakang yang sepi bersama Arya. Dirinya sedang mencari hembusan angin sejuk. Biarlah Rakana dicap sebagai anak nakal hari ini karena membolos, intinya niatnya hanya ingin duduk berdua dulu dengan Arya.

"Rokok," tawar Arya. Ia tenang saja kalau merokok di sini, karena tempatnya sepi dan jarang ada yang lewat. Namun, Rakana yang sedang berusaha menghidari itu menolak. Jantungnya harus sehat, demi kakaknya.

Hening melanda, sesaat setelah Arya mematik rokoknya, lalu menghisap dalam-dalam asapnya sampai terkumpul di mulut, barulah dihembuskan.

"Gue pengen cerita sesuatu sama lo."

"Boleh."

"Tapi ini rahasia." Rakana menghela napas berat. Mungkin cerita pada Arya tak masalah, setidaknya ada satu orang tau dan menceritakan segalanya nanti. "Gue cerita, karna gue percaya sama lo."

Arya tertegun, walaupun tak lama kemudian senyum piciknya sudah mengembang dalam hati, serta berkata 'bodoh kamu Rakana!'.

"Gue punya satu penyakit, yang mungkin akan merenggut nyawa gue kurang dari satu bulan," sendu Rakana yang tersenyum kecut. Masi saja berat, padahal dirinya sudah memilih.

"Lo sakit apa Rak? Kok lo nggak pernan cerita? Dan apa penyakit lo nggak bisa diobati?" Pertanyaan bertubi-tubi Arya hanya dibalas gelengan lemah oleh Rakana.

"Gue punya penyakit kanker otak dan kayaknya nggak ada harapan."

"Lo ngomong gitu karena belum cobak."

Kali ini Rakana diam, Arya benar, tetapi sayang, dirinya sudah terlanjur menyerah. "Gue juga udah capek hidup."

Terpaan angin yang sebelumnya membawa sejuk, sekarang malahan jadi titik sendu Rakana. Gejolak hatinya begitu mengundah, setelah cerita ia sama sekali tidak lega, malahan makin tersesat.

"Arya," panggil Rakana.

"Hem ...."

"Jangan pernah lakuin hal sama yang pernah lo lakuin ke gue, sama orang lain ya!"

"Mangsud lo?" Arya langsung memandang Rakana, yang tampak hanya tersenyum tipis.

"Itu bahaya, gue nggak mau nanti liat sahabat gue terluka karena salah jalan."

Arya diam, binggung akan menyahuti bagaimana.

"Jangan nyesel setelah gue pergi."

"Emang lo mau ke mana si?" tanya Arya yang merasa ucapan Rakana terlalu ngawur.

"Satuin keluarga, hancurian dendam dan permusuhan masa lalu. Karena kalau berlajut, pasti bakal ada satu korban yang tersakiti tanpa bisa melawan ataupun mendapat pembelaan."

"Man_"

"Rakana!" Arsli datang, ia memeluk Rakana dari samping, sekaligus memotong ucapan Arya yang belum terselesaikan. "Kantin yuk! Udah jam istirahat lho."

Rakana tersenyum tipis dan mengangguk. Ia menepuk pundak Arya hingga sang empu menatapnya.

"Gue emang ngawur kok. Jadi nggak usah dipikirin sekarang, nanti aja, pas waktunya semesta dan takdir mengukap."

***
Dalam satu ruang, tempat, serta rumah, Arya tak henti-hentinya menegak minuman yang sudah jelas sangat berbahaya bagi kesehatan. Sang ayah Frezso pun jadi kesal sendiri melihat anaknya.

"Arya sudah!" tegas Frezso menarik gelas serta botol minuman yang sudah tersisa setengah.

"Aku butuh itu, Ayah!" ucap Arya tak kalah kesal.

"Cerita saja, jangan sakiti dirimu. Ayah tidak suka."

Arya mendegus kesal dan membaringkan kepalanya di atas meja. Ia kesal jadi tidak boleh melawan sebelum kelepasan. Belum lagi dirinya sudah hampir mabuk.

Frezso yang tak mendengar cerita apapun beranjak pergi. Mulai membereskan meja. Menyuruh anak buahnya membawa pergi sisa minuman, agar Arya tak cobak lagi meminumnya.

Jujur saja, makin ke sini makin dirinya merasa, kalau Arya berharga dalam hidupnya. Semua harta miliknya sudah dirinya tulis untuk Arya ke depannya. Jadi karena itu, ia sudah memutuskan akan lebih menjaga ketat Arya.

"Ayah ...."

"Ada apa, Hem?" Frezso kembali menghampiri Arya yang sudah mendonggak. "Apa kamu pusing? Mual? Mau ayah bawa ke kamar?"

Arya menggeleng lemah. "Aku ingin cerita."

Dengan segera Frezso duduk di hadapan anaknya, agar mudah dirinya mendengar cerita dari Arya.

"Rakana selama ini mengidap kanker otak, dan anehnya tadi bicaranya sangat aneh."

"Kanker otak?"

Arya mengangguk, dirinya terlihat sedih, kesetika membuat Frezso sadar sesuatu. "Apa kamu mulai mengagap Rakana teman?"

"Entalah." Raut binggung Arya mewakili segala keraguannya. "Aku ngerasa ngak tega, tapi di sisi lain, aku masi kesal sama Rakana. Dia udah rebut pacar aku."

"Itu pilihan kamu sekarang, Ayah nggak akan maksa." Mengingat apa yang terpenting sekarang, tak akan pernah lagi dirinya menjerumuskan Arya pada dendamnya. Biarkan anak itu melakukkan apa sesuka hatinya.

"Ayah nggak benci mereka lagi?"

"Biar waktu yang menjawab," Frenzso tersenyum tipis lalu berlalu pergi.




Pada sadar nggak si sama kata2 Rakana yang aneh? Terus kenapa sama Frezso? kuy tebak!!!

Kalo suka ceritanya jangan lupa vote, komen, terus share ke temen-temen yang suka baca juga💝

Ravines and Wounds (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang